Monday, December 22, 2008

75 Floors

Author's note: One of my early works, made for school task about 3 years ago. It seems very amateurish to me by now. Honestly, now I think that the plot is a bit too weird. By the way, it was inspired by the first part of the film Speed and the fifth Detective Conan a.k.a Case Closed film entitled Countdown to Heaven. I did a few researches over the web to get the facts right for the building and the climax. Well, I hope you can enjoy this though I doubt so. ;)

“Fidel, Hari Sabtu besok kita jadi ke Spacescraper Building, kan?” tanya Farid padaku.

Aku menepuk dahiku. “Oh, iya! Grand opening­-nya kan besok, ya?”

Farid mengangguk. Spacescraper Building adalah bangunan yang KATANYA (soalnya kadang-kadang dia sering membuat gosip) dimiliki dan dirancang oleh ayahnya, Pak Adrian Wijaya. Beliau adalah salah satu orang terkenal di kota ini.

“Jadi, kan? Kamu nggak lupa janji kamu bulan lalu, kan?”tanyanya lagi.

“Iya. Jadi, kok. Tenang aja. Rid, acaranya di lantai berapa?” ujarku bertanya sekaligus mengalihkan pembicaraan.

Farid berpikir sejenak, mengingat-ingat. “Kalo ingatanku masih bagus, sih, di lantai 75, pokoknya lantai paling atas, deh.”

Aku tersentak kaget. “75 lantai?! Nggak salah?! Bisa jadi bangunan tertinggi di negara ini, dong?!”

“Tepatnya bisa jadi salah satu bangunan tertinggi di dunia. Dengan tinggi 312 meter, hanya kalah 7 meter dari Chrysler Building,” jelasnya.

Ia melanjutkan, “Wajar kamu nggak tau. Papa emang nggak mau berita tentang Spacescraper Building disebarluaskan sebelum Grand Opening besok. Lagipula tempatnya juga agak jauh dari pusat kota—di sebuah pulau kecil di laut. Tapi lusa, berita tentang Spacescraper Building akan masuk halaman depan semua surat kabar di negara ini.” Ia pun tersenyum dengan bangganya, walaupun bangunan itu milik ayahnya.

Aku semakin terkagum-kagum saja dengan bangunan itu. Aku semakin tak sabar melangkahkan kakiku ke dalam bangunan itu.

***

Setelah perjalanan yang agak membosankan selama kira-kira 1 jam dengan mobil Farid, kami berdua sampai di depan bangunan megah itu. Sekarang pukul 17.15, matahari baru saja akan pergi dari langit. Farid bilang kalau sudah gelap, Spacescraper Building akan diterangi lampu yang sangat indah.

Bentuknya unik, seperti tabung elips. Warnanya yang hitam dan dindingnya yang dipenuhi kaca juga menarik. Di sisi kiri dan kanannya terdapat lift yang menghadap ke kaca.

Kami naik dengan lift ke lantai 75 dan masuk ke dalam ballroom. Di sana belum ada terlalu banyak orang. Kira-kira baru beberapa belas orang saja. Memang acaranya dimulai pukul 18.00. Tetapi Farid ingin cepat sampai karena ia anak pemilik

“Papaku ada di pojok situ, tuh. Wah, sama Pak Rico dan Rishya juga, tuh,” ujar Farid tiba-tiba.

Pak Rico itu siapa, sih?” tanyaku.

Farid menjawab, “Pak Rico itu arsitek hebat dan cukup terkenal di kalangan arsitek. Beliau ngedapetin darah arsiteknya itu dari mendiang ayahnya yang merupakan arsitek terkenal abad lalu. Sebenernya desain awal bangunan ini tuh buatan Pak Rico. Tetapi karena dulu beliau belum terkenal kayak sekarang dan waktu itu beliau nggak punya biaya buat ngebangunnya, desain itu dijual, deh.”

Aku mengajukan perkiraanku, “Dan yang beli desain itu pasti ayahmu. Bener, Rid?

“Ya, emang bener. Kebetulan waktu itu Papa coba-coba liat desainnya dan Papa ngerti tentang arsitektur. Menurut Papa bagus, Papa beli dan langsung dibangun,”katanya.

Aku bertanya lagi, “Kalo Rishya siapa? Anaknya, ya?”

“Yup, bener banget. Dia kayaknya emang nggak mewarisi darah arsitek ayahnya. Biarpun cantik, tapi sih katanya dia nggak mirip keluarganya, tuh. Tapi dia jenius banget. Walaupun baru 17 tahun, lebih muda dari kita, dia udah dapet gelar dalam 2 bidang, lho. Tapi kayaknya juga dia nggak disayang sama ortunya.”

Para tamu pun berdatangan satu demi satu. Tepat pukul 18.00, acara dimulai dengan pidato dari Pak Adrian Wijaya. Biasanya aku tak terlalu bosan mendengarkan pidato. Tetapi isi pidato ini lebih seperti menyombongkan daripada membanggakan.

Kemudian dilanjutkan dengan pidato dari beberapa orang sangat penting. Dimulai walikota, gubernur, dan bahkan beberapa menteri dan wakil presiden memberikan pidato tentang pendapat mereka dari berbagai sisi tentang Spacescraper Building. Lagi-lagi cukup membosankan karena mereka tidak mengatakan tentang kekurangan dari adanya bangunan ini sama sekali.

Setelah cukup lama aku dan Farid tidak berbicara, aku pun memulai pembicaraan, “Rid, kayaknya nama Pak Rico nggak pernah disebut-sebut, ya? Terus Papa kamu ngaku sebagai pembuat desain itu juga, kan?”

“Iya. Kata Papa waktu Papa beli desain itu mereka udah sepakat bahwa desain itu atas nama Papa. Ya, sifat Papa emang gitu,” jelas Farid.

Aku diam saja. Daripada banyak berkomentar nanti malah jadi masalah.

***

Setelah acara makan malam bersama dan hiburan, acara hampir selesai. Farid mengajakku pulang. Mungkin ia malas mendengar pidato penutupan dari gurbenur. Kebetulan Pak Rico dan Rishya juga keluar dari dalam ruangan lebih dulu daripada kami. Kami berempat masuk ke dalam lift bersama dua orang lainnya.

Sepertinya Pak Rico terlihat agak kaget. Namun tak lama kemudian beliau sudah tampak lebih tenang. Seingatku dua orang lainnya yang ikut dengan kami berempat dalam lift ini adalah Pak Rendy dan Bu Astiana. Pak Rendy adalah Direktur dari salah satu kantor cabang perusahaan ayahnya. Bu Astiana adalah sekretaris ayahnya. Aku pernah bertemu dengan mereka di kantor ayahnya dulu.

Pak Rendy waktu itu belum dipindahtugaskan ke kantor cabang itu. Beliau seingatku kurang suka pada Pak Adrian karena Pak Adrian terlalu perfeksionis. Selain itu, seingatku Farid mengatakan bahwa karena beliau dipaksa dipindahtugaskan oleh Pak Adrian beliau harus meninggalkan istrinya yang sedang hamil dan putrinya. Bahkan istrinya sampai keguguran karena terlalu lelah. Beliau termasuk orang yang baik dan ramah.

Bu Astiana orangnya lucu. Beliau juga kurang serius dan agak ceroboh. Karena itu Pak Adrian beberapa kali memarahi beliau. Pak Adrian masih mempertahankan beliau sebagai sekretaris karena beliau pintar, jujur, dan cekatan. Tetapi Farid bilang ada gosip bahwa beliau akan diganti.

“Semua ke lantai 1, ya?” tanya Bu Astiana pada kami semua. Semua yang ada di dalam lift hanya mengangguk saja.

Kami turun satu lantai demi satu lantai. 74, 73, 72, 71, 70, 69, 68, DUAR!!! Terdengar bunyi ledakan yang dibarengi dengan matinya lampu lift dan lift berhenti. Seketika terdengar bunyi ledakan yang lebih kecil dan lift jatuh secepat kilat berlantai-lantai.

Kejadian barusan mengagetkan semua orang di dalam lift. Kami semua masih sangat terkejut. Aku melihat jam tanganku, pukul 19.54. Pak Rendy menenangkan Bu Astiana yang langsung menjadi panik setelah kejadian barusan. Pak Rico dan Rishya terlihat cukup tenang. Begitu pula dengan aku dan Farid.

Aku segera membuka pintu kecil di bagian atas lift ini.

“Pak Rendy dan Bu Astiana, tolong nanti kalian keluar duluan dan carilah pertolongan, “ kataku.

Pak Rendy berkata, “Menurutku lebih baik Farid yang keluar pertama kali karena kenalan polisi Farid lebih banyak daripada kami.”

Aku langsung naik ke atas lift. Ternyata kami berada di antara dua lantai. Dan ternyata tali liftnya tinggal tiga dan sepertinya sudah ada satu yang putus, kurasa karena salah satu ledakan itu. Seingatku memang jumlah tali lift biasanya minimal ada empat buah. Aku langsung turun lagi. Ternyata Farid dan Pak Rendy sedang mencoba membuka pintu lift.

Mereka mulai berhasil dan pintu terbuka semakin lebar. Aku segera menggantikan posisi Farid.

“Rid, cepetan loncat!” suruhku. Karena posisinya yang di antara dua lantai, mau tidak mau

Ia langsung meloncat keluar. Aku dan Pak Rendy yang kelelahan melepaskan pintu lift itu. DUAR! Terdengar satu bunyi ledakan dari atas. Lalu terdengar satu bunyi ledakan lagi dan lift jatuh sekali lagi.

Bu Astiana terlihat bertambah panik saja. Lagi-lagi Pak Rendy menenangkan Bu Astiana. Aku melihat jam tanganku, pukul 19.59. Mungkin saja polanya 5 menit sekali. Ah, lebih baik memikirkan untuk menyelamatkan diri.

Aku dan Pak Rendy menarik pintu lift sekali lagi.

“Ayo, cepat, keluar!”suruhku.

Pak Rico tersenyum dan berkata, “Tentu saja. Kelihatannya tadi itu yang meledak ada dua tali. Jadi yang tersisa mungkin tinggal satu tali lagi. Selain itu, waktu kita kira-kira tinggal 3,5 menit lagi sebelum ledakan terakhir.”

Benar juga. Tadi ada dua ledakan yang berasal dari atas. Lagipula dari jendela lift, memang jarak dari lift ini ke dasar sudah sangat dekat dan perbedaan jauh turunnya lift yang kedua dengan yang pertama memang berbeda. Dan memang sekarang kira-kira pukul 20.01 lewat 30 detik.

Bu Astiana, Pak Rico, dan Rishya keluar dari dalam lift. Sekarang yang tersisa di dalam lift tinggal aku dan Pak Rendy.

“Fidel, kamu dulu!” kata Pak Rendy.

“Tapi…”

“Cepat!!!”teriaknya.

Rishya yang dari tadi diam ikut bicara, “Del, lebih baik satu daripada nggak sama sekali.”

Aku melepaskan tanganku perlahan-lahan. Mudah-mudahan Pak Rendy bisa menahannya. Aku berjalan keluar. Tiba-tiba Pak Rendy tersenyum padaku.

“Dalam penyelamatan kali ini, harus ada pengorbanan,” ucapnya.

Kemudian Pak Rendy melepaskan tangannya dan sekitar 10 detik kemudian tali lift yang keempat meledak dan lift itu jatuh ke bawah bersama Pak Rendy. Aku tidak akan memaafkan pelakunya. Ia harus mendapatkan ganjaran yang setimpal.

Del!”panggil Farid. Ia berlari ke arahku.

“Polisi nggak bisa dateng, soalnya jembatannya barusan meledak. Helikopter juga nggak bisa dateng, soalnya landasan helikopter ada di lantai paling atas. Lantai paling atas meledak. Kecuali kita berenam, semua udah mati,” jelas Farid sambil terengah-engah karena berlari.

“Pak Rendy udah mati. Tali lift terakhir udah meledak,” kataku.

Dia agak sedih juga. “Peluang hidup Pak Rendy masih ada, kok. Ada shock absorber di dasar. Urusan lift Papa yang ngurus sendiri. Lagipula ini cuma di lantai tiga, kok. Tapi, ngomong-ngomong kamu bisa tau dari mana kalo caranya tuh pake ngeledakin tali lift?”

Aku merasa dia mulai aneh lagi. “Ya, iyalah. Kan cuma aku yang liat talinya tadi. Kamu yang nggak liat ya nggak tau, dong…. Oh, iya! Sekarang aku udah tau siapa pelakunya!”

Lalu aku membisikkannya rencanaku. Aku pun segera masuk ke dalam sebuah restoran di lantai ini dan mempersiapkan hal-hal yang diperlukan. Tak lama kemudian, Rishya datang. Aku juga membisikannya rencanaku. Awalnya ia agak kaget dan bingung, tetapi akhirnya ia setuju juga. Dan tanpa perlu repot-repot, Pak Rico juga datang. Rishya langsung kembali ke sebelah ayahnya.

***

“Begini, Pak Rico. Saya tidak punya banyak waktu untuk basa basi. Yang merencanakan semua ini adalah Anda. Anda menggunakan bom waktu untuk ledakan di jembatan dan di ballroom. Namun untuk di lift, sebenarnya itu harus Anda aktifkan dulu, baru waktunya berjalan. Bukan begitu, Pak?” jelasku.

Pak Rico tersenyum. “Teruskan saja ceritamu.”

Aku pun melanjutkan, “Tadinya Anda berencana meledakkan tali lift setelah Anda dan putri Anda keluar dari Spacescraper Building ini. Tetapi karena ada aku, Farid, Pak Rendy, dan Bu Astiana Anda mengubah rencana Anda menjadi seperti ini.”

“Lucu. Kalau awalnya aku ingin meledakkannya setelah aku turun dari lift. Mengapa aku harus menggunakan bom waktu untuk itu? Jangan menuduh orang sembarangan,” katanya mencoba membela diri.

“Orang sepintar Anda pastilah sudah memperhitungkan bahwa lift bisa dinaiki oleh siapa saja. Walaupun Anda sudah mencoba berusaha mencegah kemungkinan itu dengan keluar dari dalam ruangan lebih cepat, namun sayangnya orang sepintar Anda gagal karena ternyata tetap ada orang lain dalam lift,” jelasku lagi.

Kemudian Pak Rico bertanya, “Dari mana kau bisa berpikir begitu?”

“Anda sempat mengatakan tentang jumlah tali lift. Padahal lift bukan berdasarkan desain Anda, tetapi dari Pak Adrian sendiri. Juga tentang pola 5 menit itu. Padahal Anda tidak menggunakan jam tangan dan tidak mengeluarkan handphone Anda dari dalam saku. Sayang sekali trik orang sejenius Anda bisa terpecahkan oleh hanya dimulai hal itu.

Beliau berkata lagi, “Terima kasih atas pujiannya. Tetapi untuk apa aku menghancurkan gedung ini? Aku yang mendesain gedung ini. Apa motifnya?”

Sekarang aku yang tersenyum, “Justru itulah motifnya, Pak. Dulu Anda menjual desain Spacescraper Building ini kepada Pak Adrian Wijaya. Ia mengundang Anda dan anak Anda, tetapi dalam pidatonya tidak sedikitpun ia singgung tentang Anda. Justru ia mengaku bahwa desain itu adalah ciptaannya. Kalau saya menjadi Anda, Pak, mungkin saya juga akan merasa sakit hati. Dan bila itu membuat Anda melakukan semua ini, itu bukan hal yang mustahil, kan?”

Pak Rico tertawa, “Baiklah, Tuan Detektif. Aku kalah. Memang akulah pelakunya. Tapi kau tidak punya bukti, kan?”

“Giliranku bertanya dulu. Seberapa besar kemungkinan Pak Rendy selamat?” tanyaku pada sang pelaku.

Ia sudah mulai agak serius, “1%. Mungkin kau pikir karena ada shock absorber dia bisa selamat, begitu? Justru bomnya kuletakkan di shock absorber­-nya.”

“Licik sekali,” kataku.

Ia tersenyum lagi. “Terima kasih lagi atas pujiannya. Pertanyaanku tentang bukti belum kau jawab, kan?”

Aku melirik Rishya. Ia sudah mengerti. Ia menjauh dari ayahnya itu dan memperlihatkan rekaman yang dari tadi merekam pembicaraan itu.

Ia tampak kesal. “Kau licik, curang!” katanya.

“Belum bisa mengalahkan kelicikanmu, Pak.”

Tiba-tiba ia tertawa. Lebih keras daripada sebelumnya. “Penjahat hebat selalu punya bonus, yang dapat menghancurkan gedung ini dari atas sampai bawah.”

Ia membuka jas dan kemejanya. Di tubuhnya ia memasang bom. Ia menekan sebuah tombol. Waktu berjalan, tinggal 3 menit. Aku rasa inilah bom paling besar di gedung ini.

Aku tersenyum simpul, “Detektif ini juga punya bonus. Ayo, Rishya!”

Rishya langsung mencabut bom itu dari tubuh ayahnya dengan cutter dan meninggalkan bom itu di lantai. Aku dan Rishya mengikat Pak Rico dengan tali. Aku membawa tubuhnya dan meloncat keluar jendela bersama Rishya. Di bawah jendela sudah ada bertumpuk-tumpuk matras yang disiapkan Farid. Kami segera berlari ke perahu karet yang juga disiapkan Farid dan kami semua mendayung cepat-cepat. Fiuh, untung di dalam gedung ini juga ada toko peralatan olahraga.

Kami menoleh ke arah Spacescraper Building. Bom terakhir menghancurkan Spacescraper Building berkeping-keping. Sayang memang, tapi begitulah adanya.

Di dalam perahu karet aku melihat Pak Rendy.

“Pak Rendy, mengapa Bapak bisa selamat? Kan di shock absorber-nya ada bom?” tanyaku heran.

Pak Rendy menjawab, “Oh, diselamatkan Tuhan. Aku sudah curiga mungkin saat aku sampai di bawah ada bom yang dipasang di suatu tempat. Karena tekanan udara di bawah lift semakin besar dan begitu pula gaya gesek pada talinya, beberapa detik sebelum menabrak shock absorber lift itu berhenti. Aku keluar dan saat aku ingin mencari kalian aku bertemu Farid dan Bu Astiana lalu ikut membantu mempersiapkan semua ini.”

Aku menoleh ke arah Farid yang sedang mendayung.

“Rid, Papa kamu…”

“Tadi aku nelepon polisi pake handphone lagi. Katanya Papa selamat. Nggak tau kapan Papa turun pake tangga ke kamarnya di lantai 73 soalnya Papa emang lebih suka pake tangga kalo nggak terlalu jauh. Setelah bom pertama meledak Papa kabur. Kebetulan waktu Papa kabur jembatan belum meledak jadi Papa bisa kabur pake mobil,” jelas Farid.

Aku turut lega mendengarnya. Tetapi puluhan undangan lainnya meninggal karena ledakan di ballroom itu. Besok bangunan ini benar-benar akan masuk halaman depan semua surat kabar di negara ini.

***

Kami semua sudah sampai ke dermaga yang memang sangat dekat dengan pulau tempat Spacescraper Building berdiri tadi. Polisi sudah menunggu dan mereka langsung membawa Pak Rico ke kantor polisi. Dermaga sudah mulai agak sepi. Farid dan ayahnya sudah pulang duluan. Pak Rendy dan Bu Astiana juga sudah pulang.

Rishya bertanya kepadaku, “Kamu nggak heran kenapa aku mau bekerja sama dengan kamu buat ngejebak ayahku?”

“Nggak juga. Karena kamu bukan anak kandungnya, kan?” tanyaku memastikan.

Ia tertawa geli, “Itu sih alasan nomor dua. Soalnya kalo kandung kan punya ikatan batin yang lebih erat. Jadi bukan nggak mungkin aku nggak sanggup ngelakuinnya kalo aku anak kandungnya. Tapi hebat juga kamu bisa tahu.”

“Cuma nebak doang, kok. Nomor satunya?”

Ia berkata, “Karena aku juga ingin Ayah bisa kembali ke jalan yang benar. Ayah udah terlalu terobsesi dengan pekerjaannya. Mudah-mudahan Ayah bisa lebih baik.”

“Kudoain, deh,” ujarku.

Ia bertanya lagi, “Del, kira-kira kita bisa ketemu lagi, nggak?”

“Pasti,” kataku sambil menoleh ke arahnya, “Kalau Tuhan mengizinkan.”

Kami semua pulang ke rumah masing-masing sesudah hari yang melelahkan ini. Aku tidak pernah ingin mengalami kejadian seperti ini lagi. Tetapi kalau takdirnya memang begitu, aku tidak keberatan, kok.

Tuesday, December 9, 2008

If you were given three wishes, what would you ask?

Author's note: This essay was written about more than 1 year ago. It's a bit funny to meet this writing again because I think my three wishes would be entirely different if I'm asked this question now. Well, I'll still have the first wish but maybe I won't have the second wish and I have a big NO to wish the third one. I don't remember that I was this thankful and happy.

In many stories, the protagonist characters were given a number of wishes, usually three. There are certainly many people who want to have some wishes. They can ask what they really want in life. If I were given three wishes, I would ask great wisdom, peace, and something. The third wish is a secret. I will explain the reasons why I choose them.

I would ask great wisdom because I think that I can get many other things by having it. If I had great wisdom, I could make wise decisions in life so that I could be successful, patient, rich, happy, and many other things. Furthermore, if I had wisdom, I would consider myself, others, the world, and God. In addition, I would be able to help others with their problems if I had great wisdom. In short, the advantage I would get if I had great wisdom is that I would be able to know what would be the best thing I should do in any situation.

I would choose peace as my second wish because peace is one of the most important things in the world. If this world were peaceful, many problems would be solved and all good aspects in the world would develop. I am sure that everyone would be happy. Then, if this world were peaceful, people could make this world a better place for everyone. Peace is not only for human beings. Animals and environment need peace, too. Thus, people should keep the animals and environment better.

The third wish is the most difficult one to choose. I get the other two wishes in less than three minutes respectively. I nonetheless need more than thirty minutes to choose the third one. Then, for my third wish, I would ask that the two wishes are cancelled and the three wishes should be given to someone who needs them the most in the world instead. I know this is probably one of the most foolish wishes you have ever heard in your whole life up until now. After a deep thought searching for the third wish, I realise that my life is actually perfect. I do not want to get anything instantly because it will not make any sense. Whatever I wish, I should try to make the wishes come true. I believe a proverb that says, “Where there is a will, there is a way”.

I realise that everything I wish will ruin my own life. If the three wishes were granted, this life would not be exciting anymore. I have been living for more than 15 years in this world. Fifteen years is enough for me that everything in this life happens on purpose. Moreover, none of the purpose is disadvantageous for everyone. I realise that many bad things which happened in my life make me stronger, wiser, and more patient.

On the whole, I have explained about my wishes. They are wisdom, peace, and the surprising third wish. I have also explained the reasons. I realise that if I were given three wishes, I should use them well because many people want the three wishes. However, I am not a protagonist in a fairy tale. My life is absolutely perfect. What else can I wish?

Less?

I decided not to read my works before posting them here because I might not be able to resist the urge to edit, edit, and edit. I did not want to rewrite the whole thing. I want to be able to look at this blog years from now and find out how much improvement I've made.

However, sometimes I think many of my writings aren't really worth reading. If I have to post the decent works only, not many writings will be left here. Moreover, you can say I've stopped writing (at least temporarily). What will happen is that this anthology will rarely be updated later (or even not at all) because I have no works to post.

I'll just wait and see how the condition will be next year. Meanwhile, what do you think?

Wednesday, December 3, 2008

Membangun Jalan Kebahagiaan

Author's note: An article made for homework. Written in my third year of JHS. If I'm not mistaken, it was published in school magazine. We were also supposed to deliver a speech of it (I still have the speech version as well) in front of the class. A few friends told me that they thought some of my points were right and they didn't realize them before. I found this very ironic later because I was like teaching people about something I couldn't find. Enjoy.

Apakah Anda ingin hidup bahagia? Saya rasa semua orang menginginkannya. Kehidupan yang bahagia tentunya menjadi dambaan setiap orang. Menurut pendapat saya, penting bagi semua orang untuk mengetahui dan menyadari bagaimana cara untuk membuat hidupnya lebih bahagia. Maka, saya akan membahas tentang kebahagiaan, cara-cara untuk hidup bahagia, dan cara untuk melaksanakan cara-cara tersebut.

Perlu kita ketahui bahwa kebahagiaan adalah keadaan emosi yang dicirikan dengan perasaan kenikmatan dan kepuasan. Aristoteles pernah menyatakan bahwa kebahagiaan adalah satu-satunya hal yang manusia inginkan untuk dirinya sendiri. Ia menyelidiki bahwa manusia menginginkan kekayaan bukan untuk menjadi kaya, tetapi untuk bahagia. Orang-orang yang menginginkan ketenaran bukan ingin menjadi terkenal, tetapi karena mereka percaya ketenaran akan membawa kebahagiaan. Aristoteles menyatakan bahwa manusia menginginkan semua hal lainnya; kekuasaan, cinta, kehormatan, dll; untuk kebahagiaan.
Perlu diingat bahwa mendapat kebahagiaan tidaklah instan. Memerlukan waktu lama untuk mencapainya, bahkan seumur hidup. Prosesnya pun tidaklah mudah. Saat kita berhenti melakukannya, kita mungkin tidak akan bahagia lagi.
Sekarang saya akan menjelaskan cara-cara untuk hidup bahagia:

1. Mengenali Diri Kita Sendiri

Segala sesuatu yang baik dimulai dari diri kita sendiri. Maka, langkah pertama untuk membangun jalan kebahagiaan adalah mengenali diri kita sendiri. Seperti kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Bagaimana mungkin kita bisa bahagia apabila kita tidak mengenali dan menyayangi diri kita sendiri? Bagaimana kita bisa merasa percaya diri dengan diri kita sendiri?
Mengenali diri Anda sendiri tidaklah cukup dengan hanya mengetahui nama lengkap Anda, tempat dan tanggal lahir Anda, atau berapa kali Anda mandi dalam sehari. Mengenali diri sendiri yang sesungguhnya adalah mengetahui kemampuan, jati diri, dan kebutuhan Anda. Mengetahui kemampuan Anda tidaklah begitu sulit. Jati diri Anda akan segera ditemukan. Namun seringkali kita sulit menyinkronkan mereka dengan apa yang kita butuhkan. Mengapa? Karena kita seringkali sulit mengetahui apa yang benar-benar kita butuhkan.

Orang yang saat diberi tiga permintaan meminta jas rancangan Giorgio Armani, mobil Ferrari merah, dan tiga permintaan lagi adalah orang tidak tahu apa-apa mengenai kebahagiaan. Namun orang yang meminta kesabaran, kebijaksanaan, atau kesabaran adalah orang yang benar-benar mengetahui apa yang ia butuhkan dan pantas untuk bahagia. Itu hanya contoh. Tujuan utama dari mengenali diri sendiri adalah mengetahui apa yang benar-benar Anda butuhkan untuk membuat Anda bahagia, tanpa melewati batas kemampuan Anda dan sesuai jati diri Anda. Perlu pula dilakukan introspeksi diri sesering mungkin untuk memperbaiki kekurangan Anda. Yang penting, kita harus menerima diri kita apa adanya, tanpa syarat. Yang akan membangun rasa percaya diri.

2. Berpikir Positif

Kita sering mendengar nasihat ini dan merasa sudah melakukannya. Tetapi apakah Anda yakin benar-benar melakukannya? Saya pun tidak akan berpanjang lebar mengenai hal ini. Tetapi saya ingatkan untuk berpikir positif dalam setiap hal yang Anda alami dan Anda lakukan karena peranan pikiran sangatlah penting.

Sesungguhnya kunci dari kebahagiaan adalah pikiran kita sendiri, walaupun tindakan juga tak kalah penting. Orang gila yang tanpa uang, pakaian, makanan, bisa melompat-lompat bahagia di jalanan sana. Mengapa? Karena ia tidak memikirkan masalah-masalahnya. Mengapa kita tidak melakukan hal yang sama? Saya tidak menganjurkan Anda untuk menjadi gila, walaupun dari tadi saya melontarkan pertanyaan dan menjawabnya sendiri seperti orang gila. Tetapi kita dapat mencoba untuk tidak terlalu memikirkan hal-hal sepele yang membuat kehidupan Anda menjadi tidak bahagia.

3. Berhenti Memberi “Label”

Langkah ketiga untuk menjadi bahagia adalah berhenti memberi “label” dalam hidup Anda (Ellis, A. 2005. Meretas Jalan Kebahagiaan. Jakarta: PT Grasindo Anggota Ikapi). Hidup Anda bukan buku tulis atau ikan sarden kalengan. Memberi label seperti “Hari ini aku sial sekali” atau “Aku lebih bodoh dibandingkan dia” tidak akan ada gunanya. Apakah hari itu Anda sebegitu sialnya? Paling tidak Anda cukup beruntung masih hidup untuk memikirkan itu. Apakah Anda benar-benar lebih bodoh darinya dalam segala hal? Mungkin Anda lebih pintar darinya dalam bidang lain. Misalnya menyanyi, olahraga, atau menari, mungkin? Jadi lepaskan bebagai macam label dan keluhan itu dari kehidupan Anda dan jangan pernah membuatnya lagi. Itu hanya dapat membuat Anda putus asa dan kehilangan rasa percaya diri.

4. Memikirkan Kemungkinan Terburuk

Memikirkan kemungkinan terburuk? Ya, benar. Tentu saja ini bukan berarti Anda harus berpikir negatif. Tetapi sudah seharusnya kita sadar bahwa hidup ini tidak selalu berjalan selancar yang kita inginkan. Misalnya hari ini akan ada ulangan. Kita harus memikirkan bahwa mungkin saja kita kurang siap menghadapi soal-soal ulangan tersebut dan mendapat nilai yang kurang baik sehingga andaikan hal itu terjadi, kita siap menerimanya.

Bukan hal yang mustahil bila memikirkan kemungkinan terburuk membuat Anda menjadi berpikiran negatif. Hal ini dapat diatasi dengan cara berpikiran positif. Misalnya, “Mungkin saja saya kurang siap. Tetapi soal ulangannya belum tentu sesulit itu. Lagipula kalau soal itu sulit bagi saya, mungkin yang lain mengalami hal yang sama. Jadi, kalau saya mendapat nilai yang kurang baik, mungkin banyak juga teman-teman yang senasib seperjuangan.” Dengan begitu, Anda dapat tetap optimis sekaligus siap menghadapi kemungkinan terburuk.

5. Mengungkapkan Perasaan Kita

Biasanya orang akan merasa lebih baik setelah mengungkapkan perasaannya. Hal itu bisa dilakukan dengan menulis buku harian Anda, blog, atau jurnal pribadi. Cara lain adalah dengan menceritakannya kepada orang terdekat yang bisa dipercaya. Beberapa orang melakukannya dengan cara berolahraga dan bermain musik. Niscaya cara-cara tersebut dapat menenangkan hati Anda, menguatkan jiwa Anda, dan membantu Anda menyelesaikan masalah-masalah Anda.

6. Membahagiakan Orang Lain

Orang lain berperan banyak dalam kehidupan kita termasuk dalam membuat kita bahagia. Orang tua, guru-guru, sahabat kita, maupun orang yang tidak kita kenal mungkin sangat sering membantu kita di saat kita dalam kesulitan. Membantu saat kita belum membuat PR, belum belajar untuk ulangan, atau belum membayar hutang. Bagaimana mungkin kita bisa bersenang-senang di atas penderitaan mereka? Bahagiakanlah mereka. Tersenyumlah pada mereka. Ukirkan dalam hati Anda bahwa kebahagiaan mereka adalah kebahagiaan kita, dan kebahagiaan kita jugalah yang menjadi kebahagiaan mereka. Bahkan psikolog Universitas Pennsylvania, Martin E. P. Seligman (USA Today, Psychologists now know what makes people happy), pun menyatakan bahwa orang yang lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga atau teman-teman mereka lebih bahagia daripada orang yang lebih banyak menghabiskan waktu sendirian. Berbagi kebahagiaan dengan orang lain, terutama yang membutuhkan juga dapat membahagiakan diri kita.

7. Berdoa

Langkah terakhir namun tak kalah pentingnya dalam membangun jalan kebahagiaan adalah dengan berdoa. Sebagai orang beriman, selain memanjatkan syukur di awal pidato, sudah sepatutnya kita berdoa dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang selama ini telah membimbing dan menyayangi kita. Mudah-mudahan, bila kita terus berdoa, berusaha, dan mendekatkan diri pada-Nya, Tuhan akan membantu kita untuk membangun jalan kebahagiaan.


Langkah-langkah seperti yang saya uraikan tadi mungkin bukan pertama kalinya Anda temukan. Mungkin sudah sering Anda temukan langkah-langkah serupa di buku, majalah, atau internet. Namun seringkali masih ditemukan kendala. “Mudah dikatakan, tapi sulit dilakukan”. Itulah masalah yang umum terjadi. Karena itu, dalam kesempatan ini, saya akan menjelaskan cara-cara pelaksanaan untuk membangun jalan kebahagiaan:

1. Membuat Komitmen pada Diri Sendiri

Kita harus selalu berusaha membuat komitmen pada diri sendiri. Percaya dirilah. Saat Anda bangun tidur di pagi hari, atau siang, katakan pada diri Anda bahwa Anda pantas untuk bahagia. Bawalah komitmen itu dalam setiap hal yang Anda lakukan. Jangan biarkan diri Anda dikuasai oleh masalah dan menjadi stres. Coba dengarkan musik yang membuat Anda lebih bersemangat atau membaca cerita atau film yang memotivasi untuk memperkuat komitmen Anda.

2. Berani Gagal dalam Mencapai Kebahagiaan

Kita harus selalu siap dan berani gagal dalam mencapai kebahagiaan. Acara Elvis Presley pernah dibatalkan karena penjualan tiket yang sangat minim sebelum menjadi penyanyi legendaris. Stephen King pernah ditolak berkali-kali, menjadi buruh, dan menjadi penjaga pom bensin sebelum menjadi penulis thriller terkemuka. Mungkin Anda bertanya-tanya, “Apalah hubungan saya dengan Elvis Presley dan Stephen King?”. Anda memang bukan keponakan Elvis Presley atau Stephen King, tetapi Anda juga tidak boleh terpuruk dalam kegagalan. Orang yang sukses adalah orang yang bisa mengambil keuntungan dari sebuah kegagalan. Kalau kita gagal berpikir positif pada teman kita yang sedang berbisik-bisik tidak karuan, cari tahu penyebabnya dan atasi dengan segera.

3. Tidak Putus Asa

Ya, pastinya kita juga tidak boleh putus asa. Memang pasti ada saat-saat dimana kita merasa bahwa semua usaha kita sia-sia. Terkadang ketika usaha kita mulai membuahkan hasil, kita jatuh kembali ke dasar. Itu bukan karena tangan Anda licin. Hal itu wajar terjadi. Jangan sampai kita malah memberi label diri kita sebagai orang gagal. Bangkitlah! Mulailah dari awal! Yakinlah bahwa Anda bisa dan berhak mendapat kebahagiaan!


Kebahagiaan dapat menjadi milik semua orang, termasuk Anda. Cara-cara ini juga bukan merupakan suatu pakem yang wajib Anda laksanakan. Anda dapat menambahkan atau mengubahnya sendiri disesuaikan dengan pribadi masing-masing. Saya harapkan artikel ini dapat bermanfaat bagi Anda atau paling tidak dapat membuka pandangan Anda tentang kebahagiaan yang sesungguhnya. Semoga Anda berbahagia.

Referensi:
Ellis, A. 2005. Meretas Jalan Kebahagiaan. Jakarta: PT Grasindo Anggota Ikapi.
Lim, Billy P.S. 2004. Berani Gagal – Komik Inspirasi Seri 2. PT. Pustaka Delapratasa.
Youngs, Jennifer L. And Bettie B., Ph.D. 2001. Taste Berries for Teens. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama anggota IKAPI
http://en.wikipedia.org/wiki/Happiness
http://www.usatoday.com/news/health/2002-12-08-happy-main_x.htm
http://www.wikihow.com/Be-Happy
http://www.wikihow.com/Live-Happily

Tuesday, December 2, 2008

The Liar

Author's note: It was one of my first (or maybe it's my first) work(s) after I liked teenlit. I wouldn't say it's good but I liked it because I started with absolutely nothing in mind and just write whatever came to my mind at the moment. The whole thing turned out to be... okay. I've asked other people's comments in PulPen once.

Sebenarnya ini hari yang cerah, sesuai dengan ramalan cuaca. Tetapi apa yang akan terjadi dalam hidup kita hari ini tidak bisa diprediksi setepat ramalan cuaca. Bisa saja sangat melenceng jauh dari harapan. Namun, bila kita mencoba memperbaiki keadaan, kita akan menemukan jalannya. Sayangnya memperbaiki tidak selalu membuat keadaan menjadi lebih baik. Tergantung dari caramu mencoba memperbaikinya.


“Jes, kamu dan Kakakmu jaga rumah, ya. Mama mau pergi ke kantor sebentar.”

“Oke, Ma,” jawab Jessica.

“Mel, Ingat pesan Mama. Awas kalau Mama dengar lagi tentang laki-laki itu.”

“Baik, Ma. Aku ingat,” jawab Melanie dengan agak kesal.

Ia melangkah masuk ke dalam kamarnya dengan gontai dan menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur. Setiap kali orang tuanya mengatakan akan pergi “sebentar”, itu berarti kira-kira 2 jam. Dan itu artinya selama itu pula ia akan berada di rumah berdua dengan Melanie, seorang kakak yang baginya sangat menyebalkan.

Memang ibu mereka seorang single parent, tetapi menurut Jessica, itu bukan alasan anaknya boleh bersikap seperti itu. Ya, maksudnya memperlakukan dia seperti pembantu. Karena ibu mereka memilih tidak menggunakan pembantu.

“Jes, ambilin minum! Buruan!” terdengar teriakan dari dalam kamar Melanie yang berada tepat di sebelah kamarnya.

Jessica berjalan ke dapur dan menuangkan minuman ke dalam gelas Melanie. Jessica tahu, tak ada gunanya ia melawan. Kalau ia melawan, pasti nanti Kakaknya akan mengadukannya yang tidak-tidak kepada orang tuanya nanti, seperti biasanya. Lalu Jessica berjalan ke depan kamar Kakaknya itu dan mengetuk pintu.

“Masuk! Nggak dikunci!”

Jessica masuk ke dalam kamar dan meletakkan minuman itu di atas meja. Melanie sedang membaca novel di tempat tidurnya.

“Lama amat! Dasar kura-kura! Kamu mau bikin aku dehidrasi, ya?! Udah, cepetan keluar!”

Jessica pun keluar dari dalam kamar itu. Ia merasa sangat kesal.

Aku justru senang kalau kamu dehidrasi. Rasanya makin lama makin galak, bukannya makin baik. Jangan-jangan ribut dengan pacarnya, batin Jessica.


***

“Halo, selamat siang. Bisa bicara dengan Elisha?”

“Ya ampun. Gary, Gary. Pake nanya lagi. Kamu udah nelepon ke handphone-ku, tau sendiri aku di rumah sekarang cuma tinggal sendirian. Tanteku kan jam segini kerja.”

“Ya... kalo aja kamu ngisengin aku. Kalo aja taunya ini nomor telepon tukang pijet refleksi. Kamu pake ganti nomor handphone­ segala, sih. Eh, nanti sore kita jadi kan ke taman? Jangan lupa! Jam enam, ya!”

“Oke, deh. Udah dulu, ya. Mau makan siang dulu, nih.”

Elisha menutup telepon dari pacarnya, Gary. Mereka sudah berpacaran selama dua tahun lima bulan. Mereka berpacaran sejak SMA sampai sekarang, universitas. Memang sejak mereka kuliah hubungan mereka agak merenggang karena mereka masuk ke universitas yang berbeda. Namun mereka selalu menyempatkan untuk berjalan-jalan berdua kalau tidak sedang sibuk.

Elisha membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Ia melihat ke arah jam dinding, dua jam lagi ia akan berjalan-jalan ke taman dengan Gary. Ini sangat berarti untuk Elisha. Sudah tiga bulan lebih ia tidak bertemu dengan Gary. Ia benar-benar merindukan pacarnya itu.

Ia membayangkan bagaimana rupa Gary sekarang. Mungkin ganti gaya rambut? Atau mungkin sekarang lebih ganteng? Elisha terhanyut dalam bayang-bayang Gary. Tanpa sadar ia tertidur.


***

Bel rumah berbunyi. Jessica segera berlari untuk membuka pintu dengan senangnya. Ia berharap itu adalah ibunya yang sudah pulang. Sebenarnya ini baru satu jam. Tetapi mungkin aja kali ini ibunya pergi memang benar-benar “sebentar”. Ia sudah bosan berdua dengan Melanie.

Sebenarnya Jessica sangat bangga dengan Ibunya. Ibunya mampu bekerja untuk menghidupinya dan Kakaknya, tapi juga tetap dapat menjalankan perannya sebagai seorang ibu. Ia tidak ingin hidup hanya dari warisan yang ditinggalkan mendiang ayah. Maka ia meneruskan perusahaan ayah mereka.

Jessica membuka pintu. Tidak ada orang. Tetapi ada yang meninggalkan sebuah kado di depan pintu. Jessica mengambilnya. Ia menutup pintu dan membawa kado dengan kertas kado berwarna pink itu sambil berjalan. Untuk siapa ini? Batinnya. Ia menemukan ada sebuah kartu ucapan kecil di salah satu sisi kado itu. Buat Melanie tercinta, Dari...

“Jes! Apa-apaan kamu?!”

Jessica tersentak kaget. Tanpa sengaja ia menyenggol meja di sebelahnya. Vas bunga keramik kesayangan ibunya hancur berantakan. Melanie yang berada di depan kamarnya menghampiri Jessica lalu mengambil kado itu dari tangan Jessica.

“Kita tunggu aja reaksi Mama tentang ini! Makanya, jangan suka usil sama barang orang lain!” ujar Melanie ketus. Ia pun berjalan ke kamarnya membawa kado itu.

Beberapa saat kemudian handphone yang berada di dekat Jessica berdering.

“Halo, Ma.... Ada apa?”

“Jes, hari ini Mama sekalian mau belanja dulu, jadi pulangnya agak telat. Nggak ada apa-apa, kan? Ada yang cari Mama?”

“Nggak, Ma. Nggak ada apa-apa. Nggak ada masalah. Mama tenang aja.”

“Baguslah. Sudah dulu, ya.”

Jessica masih berdiri terpaku di situ, menatap pecahan vas itu seolah-olah tatapannya dapat membuat vas bunga itu utuh kembali. Ia berbisik kepada dirinya sendiri.

“Kali ini habislah aku.”


***

Tiba-tiba handphone Elisha berbunyi. Ia melihat ke arah jam dinding. Masih satu jam lima belas menit lagi. Ia meraih handphone-nya. Andrew, teman kuliahnya, menelepon.

“Sha, ke rumah Vivian sekarang. Cepetan, darurat!”

Andrew langsung memutuskan pembicaraan tanpa Elisha sempat mengucapkan sepatah kata pun. Elisha segera menuju ke rumah Vivian dengan mobilnya. Sialnya, sekarang jalan benar-benar macet karena banyak orang sedang pulang dari kantor. Kemungkinan ia akan terlambat untuk acara jalan-jalannya dengan Gary. Tapi kalau ini memang sangat darurat, ia yakin Gary pasti mau mengerti.

Empat puluh lima menit kemudian, Elisha sampai ke rumah Vivian. Ia berlari menuju pintu rumah Vivian. Ia mengetuk pintu, ternyata pintunya tidak dikunci. Jangan-jangan ada perampok. Mudah-mudahan Vivian dan Andrew tidak apa-apa. Ia segera membuka pintunya.

Surprise! Happy Birthday Elisha!”

Tiba-tiba teman-teman kuliahnya sudah berkumpul di sini. Elisha sangat kaget bercampur gembira. Ruang tamu Vivian disulap menjadi ruangan pesta lengkap denga balon dan pita. Mereka pun segera menyanyikan lagu “Happy Birthday To You” untuk Elisha. Tiba-tiba Vivian datang dari dalam dapur membawa kue ulang tahun untuk Elisha, lengkap dengan lilinnya.

“Sha, sini dulu,” Vivian menarik Elisha ke kamarnya. Vivian menunjukkan sebuah gaun yang simpel, tapi sangat indah.

“Aku nggak bisa, Vi.”

Elisha dan Vivian keluar dari dalam kamar. Teman-teman yang lain terpesona melihat penampilan Elisha. Ya, mau tidak mau Elisha harus memakainya juga. Teman-temannya pun menariknya dan menyuruhnya meniup lilin dan memotong kue. Elisha memberikan potongan kue itu kepada Vivian, sahabatnya sejak SMP selain Andrew.

Elisha benar-benar lupa kalau ini hari ulang tahunnya. Jadi gara-gara itu Gary ingin mengajaknya ke taman. Ya ampun! Gary! Batinnya. Ia melihat jam tangannya, jam lima lebih sepuluh menit. Tidak akan sempat lagi.

“Sha, ini ada kado buat kamu. Happy birthday,”ujar Andrew.

Elisha mengambil kado itu, “Makasih.”

Andrew pun kembali ke kerumunan teman-temannya.

“Vi, aku ada janji sama Gary. Udah telat, nih!” ujar Elisha.

“Hmmm, ajak ke sini aja.”

Elisha melirik ke arah Andrew. Lalu menatap Vivian.

“Oh, iya. Kalo gitu pergi aja. Nggak apa-apa, Sha. Mereka biar aku yang urus. Nggak usah ganti baju, itu hadiah. Kado-kadonya nanti kamu ambil aja di sini.”

“Makasih banyak, Vi.”

***

Bel berbunyi, lagi. Kali ini benar-benar ibu yang pulang.

“Jessica, Melanie, siapa yang melakukan ini?! Apa-apaan ini, hah?!”tanya Sang Ibu dengan marah.

Jessica benar-benar takut. Ia benar-benar merinding. Ia merasa ingin menangis.

Jessica berkata terbata-bata, “Ma..., se...sebenernya yang mecahin vas itu...”

“Aku, Ma.”

Jessica benar-benar kaget dengan yang dikatakan Melanie barusan. Ia hampir tidak dapat mempercayai telinganya.

“Aku yang mecahin vas itu, Ma. Aku bener-bener nggak sengaja,” jelas Melanie lagi.

Sang Ibu terlihat sedikit lebih tenang, tetapi tetap tampak marah.

“Kamu tau kan vas itu harganya mahal?”

Melanie mengangguk pelan.

“Jadi, sekarang cepat kamu bersihin pecahan vas ini dan uang jajanmu selama setahun akan Mama potong untuk mengganti vas ini. Selain itu kamu harus membersihkan WC selama bulan ini. Mengerti?”

Melanie mengangguk lagi. Ia segera ke belakang untuk mengambil sapu untuk membersihkan pecahan-pecahan vas. Ibunya ke dapur untuk memasak makan malam. Jessica masih berdiri terpaku di situ. Lidahnya terasa beku, kaku.

Sesaat kemudian Melanie datang kembali dan mulai membersihkan pecahan vas itu. Jessica berniat membantu Kakaknya itu. Tetapi Melanie memberikan isyarat agar Adiknya itu masuk ke dalam kamar saja. Jessica menurut saja. Ia tidak tahu lagi harus berbuat apa.

Jessica merasa sangat bingung. Seharusnya ia merasa senang ia tidak dimarahi dan Kakaknya yang menyebalkan itulah yang mendapat hukuman. Namun entah mengapa ia justru merasa kasihan dengan Melanie. Ia juga tidak mengerti mengapa Melanie harus berbohong untuk membelanya. Padahal kalau mau ia bisa menyalahkan Jessica habis-habisan seperti biasanya.

Pokoknya, apapun tujuan kebohongan itu, itu benar-benar menyelamatkan Jessica.


***

Elisha berlari ke arah Gary yang sedang duduk di bangku taman. Ia sudah terlambat empat puluh lima menit. Tadi ada saluran telepon yang sedang diperbaiki sehingga jalan menjadi macet. Taman ini juga letaknya cukup jauh dari rumah Vivian. Ia menjadi merasa bersalah. Ia bersenang-senang dengan teman-temannya sementara Gary dari tadi menunggu sendirian di sini.

“Gar, maafin aku, ya. Tadi temen-temenku bikin pesta kejutan. Aku nggak enak ninggalin mereka.”

“Andrew ngasih kado?”

“Eeee, nggak. Nggak ada Andrew. Cewek-cewek doang yang ikutan.”

Elisha merasa kali ini ia “terpaksa” berbohong. Ia tidak ingin menyakiti perasaan Gary sekaligus: dengan datang terlambat dan ternyata karena bersenang-senang dengan teman-temannya dan ada Andrew. Ia tidak mungkin mengatakannya. Dulu Gary pernah cemburu berat dengan Andrew. Elisha pun kemudian duduk di sebelah Gary.

“Nggak apa-apa. Telat itu biasa, kok. Aku juga sebenernya telat sepuluh menit tadi. By the way, selamat ulang tahun, ya. Buat nemuin aku kamu nggak sempet ganti baju, ya?”

Elisha merasa lebih tenang sekarang.

“Sha, aku udah beli makanan buat kita. Ulang tahunmu kali ini kita dinner di taman ini sambil ngeliatin kunang-kunang, kayak ulang tahunmu dua tahun yang lalu. Mau, kan?”

Taman ini memang letaknya agak di pinggiran kota sehingga terangnya kunang-kunang dapat terlihat dengan jelas. Begitu pula gemerlapan bintang.

Elisha mengangguk. Lalu ia menyandarkan kepalanya di bahu Gary. Ia benar-benar rindu. Mereka mengambil minuman yang dibeli Gary dan minum.

“Sebenernya aku juga mau ngomong sesuatu, Sha.”

“Sha, sebenernya ini nggak pantes aku ngomongin sekarang, di hari ulang tahun kamu. Tapi...”

Elisha menyela, “Ngomongin aja, Gar. Aku siap....”

Handphone Gary berdering. Gary berdiri dan melihat dari siapa telepon itu.

“Sebentar, Sha.”

Gary berjalan beberapa langkah dari kursi taman itu dan mengangkat handphone-nya. Sepertinya itu bukan pembicaraan yang menyenangkan.


***

Malam harinya, kira-kira satu jam sebelum makan malam, Jessica masuk ke kamar Melanie. Melanie sedang membaca buku pelajarannya.

“Kak, maafin aku. Karena aku, Kakak jadi susah.”

“Bagus kalo sadar! Lain kali kalo masuk ketok pintu dulu.”

Jessica meletakkan sejumlah uang di atas meja kakaknya.

“Ini uang tabunganku. Mungkin bisa buat bantu Kakak kalo kekurangan uang. Kan uang jajan Kakak dipotong,” ujar Jessica.

Melanie meletakkan bukunya. Ia tampak kesal pada Jessica.

“Kamu pikir aku nggak punya tabungan, ya?! Ambil uang kamu! Aku nggak perlu! Kayak duit kamu banyak aja!” kata Melanie ketus.

Melanie melanjutkan, “Kamu pikir aku bohong tadi itu karena mau nolong kamu, ya? Aku tuh cuma takut kalo kamu cerita sama Mama dan Papa soal kado itu. Pergi, sana! Ganggu aja!”

Jessica menangis, tetapi tangisan ini setengah sedih setengah bahagia. Sedih karena niat baiknya ditolak mentah-mentah, tetapi bahagia karena ia yakin akan kebaikn kakaknya.

“Sekali lagi aku minta maaf, Kak. Makasih banyak.”

Jessica mengambil lagi uang tabungannya dan keluar dari dalam kamar Melanie.

Sebenarnya, ia tahu dalam hati saudarinya itu, masih ada kebaikan yang membuatnya mau melakukan itu, bukan karena terpaksa atau takut. Ia yakin Melanie sebenarnya menyayanginya sebagai kakak-adik. Cuma mungkin ia gengsi mengakuinya dan menunjukkannya.

Baru saja Jessica akan beranjak dari depan pintu kamar Melanie, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari kamar Melanie.

“Kado kamu yang mengerikan ini mau aku balikin atau aku buang, hah?! Kita pacaran lima bulan dan kamu nggak tau aku benci boneka...?! Apa maksud kamu terserah mau diapain? Aku anggap itu artinya dibuang. Kita putus!”

Ternyata Melanie memang ribut dengan pacarnya. Ya, tetapi ini bukan yang pertama kali. Malah biasanya setelah putus, Melanie bersikap sedikit lebih baik pada orang lain, paling tidak sampai dia mendapat pacar baru. Kakaknya itu memang orang yang aneh, tapi sebenarnya baik. Jessica merasa malam ini begitu indah. Mereka pun bersiap-siap untuk makan malam dengan bahagia.


***

Setelah pembicaraannya selesai. Gary kembali duduk di sebelah Elisha. Ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya.

“Sha, sebenernya selama ini aku selingkuh.”

Elisha terdiam. Ia benar-benar kaget. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Ia tidak percaya.

“Kamu kan tau sendiri kalo orang tuaku kurang setuju sama hubungan kita. Akhirnya orang tuaku ngejodohin aku sama Melanie, temen kuliahku. Sebenernya aku nggak suka sama Melanie. Orangnya galak, ketus, egois, tapi orang tuaku masih maksa aku. Mau nggak mau aku pacaran sama dia. Orang tuaku juga sering maksa aku ngajak dia jalan-jalan, atau nemenin dia ke salon, aku nggak sanggup ngelawan, Sha,” jelas Gary kepada Elisha.

Gary melanjutkan lagi, “Jadi akhirnya aku mutusin sekarang ini juga aku mau mengakui semua ini sama kamu. Selama ini kita jarang ketemu, aku bilang aku ada tugas, urusan keluarga, ultah temen, semuanya bohong, Sha. Aku bohong. Sebenernya waktu-waktu itu aku sama Melanie.”

Elisha menitikkan air mata. Ia benar-benar tidak menyangka ini yang sebenarnya terjadi selama ini.

“Barusan tadi dia mutusin aku karena hal sepele. Aku nggak mau nyia-nyiain kamu lagi. Aku sadar sampai kapanpun nggak ada yang bisa gantiin kamu, Sha.”

Gary juga ikut menitikkan air mata. Ia sangat menyesal melakukan semua ini.

“Gar, sebenernya tadi ada Andrew. Dia malah ngasih aku kado. Aku ninggalin temen-temenku yang udah susah-susah nyiapin pesta buat aku... cuma buat kamu! Aku nggak ngerti! Kalo emang kamu ada masalah, kamu bisa cerita! Kalo kamu nggak cerita sama aku, artinya kamu nggak percaya lagi sama aku!” jelas Elisha dalam deraian air mata.

Gary mendekap Elisha agar Elisha merasa lebih tenang. Ia tahu, Elisha sangat tidak suka dikhianati. Ia pernah punya pengalaman yang sangat buruk tentang dikhianati waktu SMA dulu.

“Elisha, setelah malam ini kamu boleh mutusin aku. Aku nggak mau mencoba membela diri lagi. Waktu itu aku bener-bener pengecut. Harusnya aku ngelawan keputusan orang tuaku. Kamu boleh nggak ngomong sama aku lagi selamanya. Tapi tolong malam ini kita bisa berdua untuk terakhir kalinya.”

“Tolong, Gar. Tinggalin aku dulu. Sekarang aku pengin sendiri. Pergi, Gar!”

“Tapi Sha, aku.... Baiklah..., apa boleh buat.”

“Kamu makan, ya, Sha, nanti maag-mu kambuh. Pulangnya jangan malam-malam, nanti masuk angin,” lanjut Gary sembari menyodorkan sebuah cheeseburger pada Elisha.

Elisha mengambil cheeseburger itu. Gary berjalan pergi, meninggalkan Elisha sendiri sesuai permintaannya. Gary benar-benar berharap Elisha dapat menerimanya kembali. Awalnya ia merasa sedikit menyesal sudah jujur tentang semua ini. Namun sekarang ia yakin apa yang ia lakukan sudah benar.


***

Jessica dan keluarganya baru saja menyelesaikan makan malam bertiga. Makan malam mereka kali ini lebih enak dari biasanya. Ya, “koki”-nya kelihatannya sedang senang hari ini.

“Jes, Mel, perusahaan Mama mengalami kemajuan pesat sejak perubahan yang Mama lakukan bulan lalu.”

“Baguslah, Ma,”kata Melanie dengan agak kesal.

“Melanie, kamu kok begitu. Soal pacarmu itu? Sejak pertama kalo melihatnya Mama tau kalau dia tidak cinta sama kamu, Mel. Mama mau kamu bahagia.”

“Sudahlah, Ma. Kami sudah putus.”

Keadaan ruang makan hening sejenak.

Jessica memulai pembicaraan lagi, “Ma, sebenernya...., vas itu...”

“Mama sudah tau. Kalian kan anak Mama. Apalagi Papa kalian meninggal sebelum Jessica lahir. Mama tau betul kalian, apalagi kamu Jessica. Cuma Mama mau tau kejujuran kamu. Jadi semua hukuman Melanie pindah ke kamu, ya....”

Jessica merasa lebih tenang sekarang. Walaupun ia mendapat hukuman, ia merasa tidak ada lagi yang disembunyikan. Sekarang ia merasa benar-benar bahagia di tengah keluarganya. Vas itu pecah memang bukan sepenuhnya kesalahannya, tetapi paling tidak Melanie sudah membersihkan pecahannya.


***

Elisha masih sendirian di taman. Menatap kunang-kunang yang beterbangan berkelap-kelip. Ia mengambil kado yang diberikan Andrew dari dalam mobil, lalu duduk lagi di kursi taman. Ia belum berniat pulang. Elisha membuka kado itu. Isinya sebuah kotak tisu lucu lengkap bersama tisunya. Ada sebuah kartu ditempel di kotak tisu itu:


Yang terpenting adalah yang ada di dalam, bukan luarnya. Semoga bisa bermanfaat.

Happy Birthday, My Best Friend

Andrew

Suatu kebetulan yang sangat kebetulan. Seolah-olah Andrew tahu apa yang akan terjadi pada dirinya dan Gary hari ini. Tanpa sengaja hadiah itu jatuh dan menggelinding ke bawah kursi. Elisha mengambilnya, ternyata di bawah situ ada sebuah kado. Pasti dari Gary, batin Elisha.

Elisha membukanya. Isinya sekotak cokelat. Ada sebuah kartu juga.


Aku tidak harus menunggu 14 Februari untuk memberimu cokelat, kan?

Gary

Elisha tersenyum membacanya. Ia menangis, lagi. Tisu dari Andrew memang berguna sekarang. Elisha merasa sangat sedih, dan juga bingung. Mengapa orang yang ia cintai dan mencintainya harus menyakitinya? Elisha benar-benar bimbang. Ia bahkan ragu apakah yang tadi dikatakan Gary jujur dari dalam hatinya sendiri. Elisha merasa mungkin ia harus menceritakannya pada Vivian dulu.


Terungkapnya kebenaran tak mengurangi indahnya taman itu di malam hari. Kunang-kunang tetap beterbangan dengan terang . Memberikan cahaya-cahaya harapan bagi Gary, Elisha, dan siapapun juga untuk memulai sesuatu yang baru. Menutup kebohongan yang tidak memperbaiki keadaan sama sekali, dan kemudian menerima kebenaran dan kenyataan hidup apa adanya

Friday, November 28, 2008

Together

Songwriter's note: Written about 1 year ago because the teacher asked us to sing a song that we at least changed the lyrics. My group was the only with an original song. I finished this in one night. Music and lyrics by me although the melody and lyrics of the verses are altered when performed because my singing is so terrible that they can't get what's in my mind. By the way, this was the first song I've ever finished. I made another song first but I finished that one a few days after I finished this one.

At the first time
No one could figure that
We'd be in same rhyme
Since we didn't know much 'bout one another

At this moment
Every of us can tell
We have been so close
Although we've only together for a not so long time

Reff.
We can be strong, together
We are complete, together
Wondering we can be like this forever
When you need me, I'll be there
The obstacles, I don't care
We now, forever, and ever, are friends

We are different
But that's necessary
When in one current
We can complete one another to be stronger

Yes, there must be
Some problems among us
But they can be solved
We're together, we're strong, we can find the solution

I know that nothing lasts forever
But I don't wanna lose this feeling, yeah
Someday, when I've found some new friends
I'll never forget you all

Repeat reff 2x

Wednesday, November 26, 2008

Someone I Admire

Author's note: Written around the beginning of 2008, a homework. I didn't get high marks for this but the content could be worth sharing though I couldn't really write it properly. You can google her name to know more about her.

Around the end of 2006, I watched a Japanese TV drama “1 Litre of Tears”. It is inspired from the diary of Aya Kito who was diagnosed with spinocerebellar ataxia when she was 15. The incurable degenerative disease causes the person to lose control over their body, but because the person can retain all mental ability, it acts as a prison. However, she struggled to live her life to the fullest until her death when she was 25.

One day, Aya’s class would practice basketball passes. She and a classmate who forgot to bring her attire would be in study hall. A classmate said that was so lucky. She was boiled with anger. She said that she wanted to switch bodies, even one day, so that the classmate maybe would understand her feeling that she could not do anything she wanted to do.

Many people, including me, are often too ungrateful of our lives. Despite all the things I have and I can do, I still long for other’s greener grass. I began to be more appreciative of every single activity I can do. More importantly, I am very impressed that Aya actually put her effort to make people see things from her point of view. Many people do not wonder if this disease with undiscovered cause struck them.

When Aya was sixteen, she went through numerous tests. Some tests hurt her. Several others required her to do things such as standing on her tiptoes and closing her eyes. After the test, the doctor asked her whether it was fun. She felt treated like guinea pig. Then, her head hurt after some shots. She also made a mistake in interview. She felt miserable. She said that she studied hard because that was the only thing she was good at.

Difficulties came across her life as her disease developed. I understand that I am so fortunate compared to her. She had to do the things she did not want to do and she could not do the things she wanted to do. However, she determined to do better in what she still could do. Even I sometimes be too easily satisfied and forget to improve. She had opened my eyes to realise more.

As I watch the drama and read her diary, I know I would improve. I often get too depressed that I feel I am the most unfortunate person in the world. However, when I remembered Aya, I feel guilty that I am not thankful enough. I am luckier than numerous people. Most importantly, it grows in my heart that I must determine to live my life to the fullest despite all troubles. She inspired me a lot.

More English Works

I just looked for more writings of mine and I found quite a lot of English essays that were my homework and I'll add the interesting ones here. I'll post some English scripts, too. But maybe I'll post scripts after quite some time because many people are not used to reading s really long text on computer screen (and I can't guarantee it's not boring).

Now I think I have more English writings than the ones in Bahasa Indonesia. But I would say that my favourite works were written in Bahasa Indonesia.

Where's Alex?

Author's Note: Written about at least 1,5 years ago for English lesson. My English was much worse then, but I chose to make only few mistakes that I came across otherwise I'll end up rewriting the whole thing, though it's quite short and has lots of fillers. This is my most incomprehensible story ever. I made several versions of how to comprehend the story but I'd rather leave it all to the readers first. Enjoy!

“Helen, please accompany me to the bookstore after school,” said Lucy.

“Bookstore? Lucy wants to go to the bookstore? Are you okay?”

“I’m really fine. I just want to buy a book as a gift for Alex. Tomorrow will be his 12th birthday,” she said.

Helen became more confused. “What? For ... Alex? Alexander?”

“Yeah, Alexander. My brother. You still remember him, don’t you?” asked Lucy.

“Yes, bu...but it has been a long time since the last time I saw him. Maybe about several months.”

“That long? I didn’t realize it. You’ll be surprised when you see him again. He has been taller and more handsome.”

“I’ll accompany you to the bookstore. But you’ll wait about five minutes. I’m going to submit my paper to Mrs. Tina after school,” said Helen.

“Thanks, Helen.”

Suddenly the bell rang. So they went to their seat.

At the bookstore...

“What about this one?”Lucy ordered a book to Helen.

“What? Alice’s Adventure In Wonderland? Come on, you yourself said that he’s gonna be twelve tomorrow.”

Lucy laughed a while. “Bad choice, huh?”

Lucy ordered another book to Helen. “How about this?”

“The A.B.C Murder by Agathe Christie? He likes detective novels, doesn’t he?” asked Helen.

“He loves detective novels. How can I forget? He has ten detective novel. Six of them are Agatha Christie’s.”

“Are you sure he doesn’t have this one?”

“He has that one. But I think he hasn’t bought that one,” said Lucy. She pointed at a novel and picked it. It was "Murder on the Orient Express".

Lucy paid the book and she walked happily from the bookstore. Helen just walked beside her slowly. Helen’s face looked rather sad and confused.

“What’s wrong with you, Helen?” asked Lucy.

“Nothing. I’m okay.”

“I think you should go home now.”

Helen looked at her watch. “I think so,” she said. “It’s three o’clock.”

“May I accompany you to your house?” offered Lucy.

She shook her head. “No, it’s okay. I can go home myself. Don’t worry about me. You’d better go home. Your mom must be worrying about you know. You haven’t told them about this, have you?”

“I haven’t. Okay, take care. See you.”

“See you.”

Then they went home. Actually, Lucy still feel something strange that could make Helen be like that. Maybe just too tired, thought Lucy.

About twenty minutes later Lucy arrived at her house. Her house is not so big and luxurious. Just a simple house. She knocked at the door several times and wait. After a while, her mother opened the door. She came in and they walked to the dining room.

“Where were you from, Lucy? You should have went home about one hour ago.”

“I was from the bookstore, “said Lucy.

“You should tell me if you wanna go somewhere after school. I was going to call police when you knocked at the door.”

“I’m sorry, Mom. I won’t do it again. But now, I’m hungry.”

“I’ve cooked your favourite food, chicken soup. It’s on the table, Lucy,” said her mother.

“Oh, thank you, Mom. I’m so happy today.”

Unfortunately, the happiness didn’t last long. Suddenly, the phone rang. Her mother went to the living room and picked the phone up.

“Lucy, it’s Helen!” shouted her mother from the living room.

Lucy ran there. Then, her mother went back to the dining room.

“Hello, Helen.”

“Hi, Lucy. I just remembered. Don’t forget to bring my physics book tomorrow. There will be a physics test next week, remember?”

“Oh, yes. Don’t worry. I’ll bring it tomorrow. By the way, Helen, what do you think if I use a red wrap for the gift?” asked Lucy.

“What? The gift? Oh, that gift. I see. Red is good. But does Alex love red?”

Lucy thought for a while. “Actually, I think he loves blue. Okay, I’ll use blue. Thank you so much for today. See you tomorrow.”

“See you.”

Lucy put the phone. Then she walked to the dining room and had a bowl of chicken soup.

“Mom, we still have some blue wrap, don’t we?”

“Yes, there are some in the drawer. For what, Lucy?”

“I’ll use it to gift-wrap a book,” answered Lucy.

“Whom will you give the gift to?” asked Lucy’s mother.

“It’s secret. By the way, where’s Alex, Mom?”

“What? Alex?” Her mother looked very surprised.

Suddenly they heard someone knocked the door. Lucy ran and opened the door.

“Dad! You go home so early today. Mom has cooked chicken soup for us. It’s so delicious.”

Then they came in and walked to the dining room.

“So, where’s Alex, Mom?” asked Lucy again. Her mother still looked very surprised. Moreover, her father looked very surprised, too. The dining room became so silent. Suddenly her mother ran to her room crying. Lucy became very confused. She couldn’t understand what was happening. She looked at her father and said, “What happened, Dad? Where’s Alex?”

Her father walked towards her and talked to her slowly.

“Lucy, I know it must be very hard to receive but you have to.”

“What are you talking about, Dad?” asked Lucy.

Her father explained, “Nine years ago, our house was on fire. That time, mom was sick and I was on duty at Singapore. Our neighbours were managed to save you and Mom. But they couldn’t find Alex. Alex was burnt in the house. He has passed away, Lucy. We have to receive it.”

“No way. That’s impossible. He’s alive. He’s alive!” cried Lucy.

Lucy collapsed. Her father brought her to her room.

The next morning...

“Good morning, my lovely Lucy.” Are you okay? You collapsed yesterday. Maybe you’re too tired,” said her mother.

“I’m okay. What happened yesterday? I think I remember that Dad said something about fire. I think he said that some years ago our house was on fire and...”

Dad said, “No. I didn’t say something like that. Maybe it’s just your dream or maybe because you still have a headache. Don’t think to much, Lucy. Just calm down. We don’t want you to be sick.”

“I think so,” said Lucy. “Where’s Alex?”

“It’s a bad news, Lucy. But it’s useless to hide it form you. I regret to tell you that he got a car accident yesterday last night on his way home. When his father’s car on the way here, the car crash into a truck and exploded. We have to receive this, Lucy. We can’t do anything now,” explained her father.

Lucy cried uncontrollably. Her mother tried to calm her down. His father walked to Lucy’s room. He picked an Agatha Christie’s novel and threw it to the dustbin.

If you have anything to say or ask, please leave a comment.