Monday, July 6, 2009

Apa Hebatnya Kartini

Author's note: I wrote this for the school magazine about 2.5 years ago. I just skimmed through it and now I don't think it was good. It was greatly inspired by an article in Kompas with the same title, but with a question mark. Well, I hope reading this would be a bit enlightening as it introduced a view different from the general opinion.

Kirana menutup buku yang dari tadi ia baca dan mengambil selembar folio bergaris dari lemari. Ia mengambil sebatang pensil dan mulai menulis di atas meja makan yang berfungsi rangkap sebagai meja belajar itu. Pagi itu Bu Nina memberikan tugas untuk membuat artikel yang berisi opini mereka tentang R.A. Kartini karena Hari Kartini sudah tinggal dua minggu lagi. Beliau mengatakan pula bahwa karya terbaik akan dimuat dalam majalah sekolah.

Kirana merasa bahwa ini adalah kesempatan emas baginya untuk menyalurkan minat menulisnya sekaligus menumpahkan unek-uneknya dulu tentang pahlawan emansipasi wanita itu. Tangannya mulai menari di atas kertas.

Apa Hebatnya Kartini

Siapa yang tidak tahu R.A. Kartini? Pastinya banyak, tetapi sebagai orang berpendidikan sudah seharusnya kita tahu siapa pahlawan emansipasi wanita itu. Setiap tahun kita selalu memperingati tanggal 21 April sebagai peringatan hari kelahiran beliau. Kumpulan surat-suratnya juga telah diterbitkan berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Kirana menatap sekilas buku tersebut terselip di rak bukunya. Sudah mulai menguning dan agak rusak karena sering ia pelajari. Lalu tangannya mulai berayun lagi.

Mungkin ada yang mengira saya – sebagai seorang perempuan – sangat lancang memberikan judul “Apa Hebatnya Kartini”. Padahal mungkin tanpa beliau saya tidak bisa bersekolah, begitu? Anda juga boleh menambahkan padahal hari ulang tahun saya jatuh tepat pada tanggal 21 April. Tetapi saya tidak main-main. Saya punya bukti, bukti dari Kartini sendiri.
Bagi yang telah membaca surat-surat beliau pada...

Kirana beranjak dari kursinya kemudian mengambil buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” dari rak bukunya. Membuka buku tersebut dan memastikan ia tidak salah menuliskan nama sahabat Kartini itu. Walaupun ia tidak yakin bahwa ia salah menuliskan nama yang kerap muncul dalam buku yang telah ia habiskan sejak SD itu.

...Stella Zeehandelaar, pastinya mengerti apa yang akan saya jelaskan. Seperti yang kita tahu, Kartini adalah buah hati dari seorang bupati Jepara dan selirnya. Paling tidak, kehidupan Kartini tidaklah berkekurangan. Memang, beliau tidak dapat melanjutkan sekolah tinggi-tinggi dan harus dipingit sampai menikah. Namun di luar sana banyak gadis lain yang tidak mampu melanjutkan sekolah sekalipun diperbolehkan karena masalah ekonomi. Dipingit? Sekarang saja banyak gadis yang disuruh orang tuanya membantu bekerja. Apalagi zaman Kartini, enak betul kalau boleh cuma di rumah saja, tanpa bekerja.

Ditambah lagi, Kartini masih boleh membaca buku-buku dan majalah dari tanah Eropa oleh Sang Ayah. Boleh pula berkirim-kirim surat sehingga sekarang bisa kita baca sekarang ini. Padahal gadis-gadis sebayanya pada masa itu mungkin sedang bersusah payah membantu orang tuanya mengais rezeki.

Aku akan mencoba membandingkan dengan seorang perempuan yang paling aku kenal, diriku dan ibuku sendiri. Ayahku meninggalkan aku dan Ibu sebatang kara dan menikah dengan seorang wanita kaya. Saat itu umurku masih berusia empat tahun. Ibuku bersusah payah mencari jalan keluar kesana kemari untuk melanjutkan hidup kami. Akhirnya dengan pinjaman dari keluarga, ibu membuka warung sederhana yang sampai sekarang masih menjadi tonggak kehidupan kami.

Belum lama kemudian, kami harus dihadapkan pada krisis moneter yang benar-benar mencoba menghabisi nyawa kami. Aku sempat hampir putus sekolah. Aku pun yang tadinya membantu Ibu di warung harus berjualan koran setiap pagi, membantu di kantin sekolah saat istirahat, dan sepulang sekolah harus menjadi pedagang asongan. Sekarang ini, karena biaya hidup semakin tinggi, aku juga mengajar les pada adik-adik kelas atau siswa SD pada sore atau malam hari.

Aku mencoba bersabar walaupun hasil keringatku seharian terkadang harus diambil preman saat berjalan kaki pulang ke rumah. Aku juga kasihan dengan Ibu yang sekarang juga bekerja tambahan untuk menerima jahitan yang sering membuatnya kurang tidur.

Kirana nyaris menitikkan air mata menuliskan semua ini. Tetapi ia sadar bahwa sebelum topik artikel ini beralih dari Kartini menjadi dirinya sendiri, ia harus mulai membenahi arah artikel ini.

Tetapi, bila suatu saat nanti saya memperjuangkan hak-hak Kartini, lebih jauh daripada Kartini, akankah Hari Kartini diganti menjadi Hari Kirana? Pastinya tidak, bukan? Dan mungkin alasannya hanya karena Kartini adalah pelopor. Tidak ada perempuan yang meminta ia dilahirkan di tahun berapa. Kalau saya lahir lebih dahulu daripada Kartini, mungkin sejarah akan berkata lain.

Kita juga harus realistis bahwa dengan atau tanpa Kartini, cepat atau lambat pasti akan ada seseorang yang memperjuangkan emansipasi wanita. Sulit kuterima masyarakat begitu mengagungkan sesuatu yang dikatakan “perjuangan” dari seorang perempuan berkecukupan, berayahkan bupati, bersuamikan bupati. Parahnya lagi, suaminya justru jelas-jelas melakukan poligami. Jelas-jelas pula bahwa ia mengingkari ikrarnya pada dirinya sendiri, sangat kontras. Menurut Stella, Kartini mengorbankan cita-cita besarnya karena ayahnya. Kelihatannya, Kartini terlalu mencintai ayahnya, yang sebenarnya juga pelaku poligami. Justru jarang R.A. Kartini mengungkit-ungkit ibundanya dibandingkan Sang Ayah dalam surat-suratnya.

Kirana sadar bahwa pada akhirnya artikel ini harus mulai menjurus pada akhirnya. Berpanjang lebar tanpa arah hanya akan membuat pembaca bosan. Apalagi ia sadar, bahwa terus menerus mengkritik Kartini yang sudah pasti pendukungnya lebih banyak hanya dapat membuat pembaca naik pitam.

Tetapi tidak dapat kupungkiri bahwa memang mungkin aku tidak dapat bersekolah sekarang ini tanpa Kartini. Mungkin perjuangan emansipasi generasi-generasi penerus Kartini tidak akan seperti sekarang ini bila bukan karena Kartini. Aku sadar pula bahwa beliau tidak pernah meminta dilahirkan dalam keluarga bangsawan. Dan mungkin bila Kartini bukan bangsawan, beliau belum tentu dapat memperjuangkan emansipasi wanita sebaik itu.

Bagi yang cukup teliti dan memperhatikan, aku tidak meletakkan tanda tanya di akhir judul artikel ini. Mengapa? Karena sekarang bagiku “Apa Hebatnya Kartini” adalah sebuah jawaban. Hari Kartini diperingati setiap tahun karena apa hebatnya Kartini. Emansipasi wanita di Indonesia sangat sering dikaitkan dengan R.A. Kartini karena apa hebatnya Kartini. Masih banyak lagi segudang pertanyaan protes di hatiku yang terjawab dengan tiga kata sederhana itu. Yang pasti, tanpa Kartini, tidak mungkin aku dapat termotivasi untuk berjuang sejauh ini.

Kirana merasa cukup dan sekarang tinggal menambahkan beberapa saran sebagai media baginya untuk membagi semangat emansipasi sebagai penutup yang manis.

Kita semua, terutama kaum perempuan, sudah seharusnya memperjuangkan emansipasi wanita. Emansipasi wanita pastinya membutuhkan perhatian karena hingga detik ini perempuan sering mengalami perlakuan tidak baik dari berbagai pihak dalam berbagai bidang.

Tuhan menciptakan perempuan sederajat dengan laki-laki. Maka, tak ada seorang pun jua yang berhak membeda-bedakan dan merugikan perempuan hanya karena perempuan adalah perempuan. Tak ada orang yang bisa memilih jenis kelaminnya sebelum keluar dari rahim ibunya.

Perjuangan emansipasi itu boleh saja termotivasi dari perjuangan Kartini, tetapi jangan pernah mau jadi penerus Kartini. Perjuangkan emansipasi wanita atas kemauan dari dalam diri sendiri sebagai seorang perempuan. Dengan atau tanpa Kartini, setiap perempuan berkewajiban untuk memperjuangkan hak kaumnya apabila dalam keadaan terancam. Tekankan bahwa saya bukanlah Kartini dan Kartini bukanlah saya. Jangan mau cuma jadi penerus kalau bisa jadi pelopor.

Kirana Anandhita
(IX-4/28)

Kirana tersenyum puas dengan hasil karyanya itu. Rasanya ia tidak sabar untuk mengetik tulisannya dengan mesin ketik tua peninggalan ibunya dan mengumpulkannya kepada Bu Nina. Isi hatinya selama ini telah ia tuangkan di atas kertas itu. Tiba-tiba ibunya datang menghampiri Kirana.

“Belum tidur juga kamu, Nak?”
“Ini, Bu. Baru selesai ngerjain tugas,” jawab Kirana.
Ibunya duduk di sebelah Kirana dan membaca sepintas artikel itu.
“Tentang Kartini lagi, ya? Baguslah kalau kamu tidak sebegitunya membenci Kartini lagi.”
Kirana tersenyum. “Ya, itu kan karena nasehat Ibu juga. Ibu tidur, deh. Mumpung Ibu lagi nggak ada jahitan. Jarang Ibu bisa istirahat. Aku mau ngetik ini dulu sebentar.”
“Tapi kamu cepetan tidur, ya. Jangan lama-lama. Nanti kalau kamu sakit Ibu juga yang tambah repot.”
“Iya, Bu.”

Ibunya pun masuk ke kamar dan tidur. Sementara Kirana mengetik artikel itu dengan penuh semangat untuk secepatnya dikumpulkan. Bagi Kirana, malam itu akan terasa menjadi malam yang amat panjang.

Saturday, July 4, 2009

The Motto Which Motivates Me The Most

Writer's note: It's quite a personal non-fiction. Well, it was written about almost one year ago. It's definitely not well-written. My life had changed a lot, too, which makes these things here not so relevant anymore. But this would be a fragment of my emotion at one point in my life.

Actually, I do not purely believe in mottos. I had not heard a motto that was able to be used in any condition. However, I was forced to choose a motto. Let’s say I have some mottos in my life. I nonetheless choose the motto that has been proved to be true in many conditions. It probably was simple and common for many people. Nevertheless, I will try to make you understand how important it is to me in my life. The motto that motivates me the most in my whole life: “I have friends.”

Firstly, to make you understand what I will explain later, I will explain one thing first. I have a rule that “Someone is your friend does not mean you are his friend.” I mean someone is your friend if you consider him as your friend. However, you are not his friend unless he considers you as his friends. Thus, in this page, if I say “A is B’s friend” it means that “A” considers “B” as his friend no matter “B” considers “A” as his friend or not. Do not forget this rule.

Actually, I will never ever be able to really tell you how much they have affected me. My story cannot be summed up in two or three pages; it cannot be packaged into something simple that you could understand easily.

I will begin to explain the reasons now. Honestly, I am not a good person. In addition, I had thought about living alone when I was in 3rd grade of primary school and I had thought about suicide when I was in 5th grade. You may think that I have a “hard life”. I apologize that I cannot tell more about it.

If at this point you think that I told these to my best friends and they had motivated me to live this life fully until now, I have to apologize once more time. I have never told them up until now. Furthermore, it is the first time I tell this to someone else. I do not want to beg for someone’s sorry or concern.

My friends kept me alive with their own way that they have never realised. What makes me alive is the time I have passed with them. When I graduated from primary school, almost all of my friends (remember the rule) went to the different school with me. Luckily, I met even more wonderful friends.

Even I was always sad when we went home early from school and when a long holiday came. However, I did not show it. I just kept that feeling in my heart. I knew that those were able to make them happy so that I should feel happy for them. Furthermore, even they were in my dream on a one-week holiday. I realise that everyone should love God, himself, and his family first before their friends. I nonetheless cannot help loving my friends. They are truly an important part in my life. They always have a special space in my heart. By the way, another rule of mine is that God, my family, and I are my friends. Actually, everyone is my friend (remember the rule) as long as I feel he is.

Now it is time for me to give some experiences. When I was in 8th grade, I felt so desperate for days because I did not think I was my friends’ friend. I felt like losing a purpose in life. I had no better choice than telling that to some friends. Since this life is not a soap opera, do not think that they said, “We are your friends, Fred.” That would be disgusting and dishonest. Luckily, telling them helped me to realise that it was not important. That desperation born a statement that, “If I want someone to consider me as his friend, I have nothing to do but try my best to show that I was deserved to be his friend.”

I will tell you another experience. When I was in 9th grade, I went into the biggest desperation in my life for months. I thought that I was slowly losing all my friends. I was certainly in despair. I began to regret every single thing I did wrong in life, every single chance I had missed, every single sacrifice I had refused to do, and many else. I had tried many things. I nonetheless had not managed to say that was wrong. At last, I thought it was “God’s plan” so that I could leave all of them without hurt. I believe that they are still my friends. They did not change. It was me who changed.

To sum up, thinking that “I have friends” motivated me a lot. No matter what you think about the motto, I love that simple motto. Although perhaps it cannot be considered as a real motto, I choose it. It had helped me in many events through my whole pre-teen and teenage life. It proved that the motto is true. It is my best motto. No matter what you think about this, I have friends and that is all that matters.