Monday, December 22, 2008

75 Floors

Author's note: One of my early works, made for school task about 3 years ago. It seems very amateurish to me by now. Honestly, now I think that the plot is a bit too weird. By the way, it was inspired by the first part of the film Speed and the fifth Detective Conan a.k.a Case Closed film entitled Countdown to Heaven. I did a few researches over the web to get the facts right for the building and the climax. Well, I hope you can enjoy this though I doubt so. ;)

“Fidel, Hari Sabtu besok kita jadi ke Spacescraper Building, kan?” tanya Farid padaku.

Aku menepuk dahiku. “Oh, iya! Grand opening­-nya kan besok, ya?”

Farid mengangguk. Spacescraper Building adalah bangunan yang KATANYA (soalnya kadang-kadang dia sering membuat gosip) dimiliki dan dirancang oleh ayahnya, Pak Adrian Wijaya. Beliau adalah salah satu orang terkenal di kota ini.

“Jadi, kan? Kamu nggak lupa janji kamu bulan lalu, kan?”tanyanya lagi.

“Iya. Jadi, kok. Tenang aja. Rid, acaranya di lantai berapa?” ujarku bertanya sekaligus mengalihkan pembicaraan.

Farid berpikir sejenak, mengingat-ingat. “Kalo ingatanku masih bagus, sih, di lantai 75, pokoknya lantai paling atas, deh.”

Aku tersentak kaget. “75 lantai?! Nggak salah?! Bisa jadi bangunan tertinggi di negara ini, dong?!”

“Tepatnya bisa jadi salah satu bangunan tertinggi di dunia. Dengan tinggi 312 meter, hanya kalah 7 meter dari Chrysler Building,” jelasnya.

Ia melanjutkan, “Wajar kamu nggak tau. Papa emang nggak mau berita tentang Spacescraper Building disebarluaskan sebelum Grand Opening besok. Lagipula tempatnya juga agak jauh dari pusat kota—di sebuah pulau kecil di laut. Tapi lusa, berita tentang Spacescraper Building akan masuk halaman depan semua surat kabar di negara ini.” Ia pun tersenyum dengan bangganya, walaupun bangunan itu milik ayahnya.

Aku semakin terkagum-kagum saja dengan bangunan itu. Aku semakin tak sabar melangkahkan kakiku ke dalam bangunan itu.

***

Setelah perjalanan yang agak membosankan selama kira-kira 1 jam dengan mobil Farid, kami berdua sampai di depan bangunan megah itu. Sekarang pukul 17.15, matahari baru saja akan pergi dari langit. Farid bilang kalau sudah gelap, Spacescraper Building akan diterangi lampu yang sangat indah.

Bentuknya unik, seperti tabung elips. Warnanya yang hitam dan dindingnya yang dipenuhi kaca juga menarik. Di sisi kiri dan kanannya terdapat lift yang menghadap ke kaca.

Kami naik dengan lift ke lantai 75 dan masuk ke dalam ballroom. Di sana belum ada terlalu banyak orang. Kira-kira baru beberapa belas orang saja. Memang acaranya dimulai pukul 18.00. Tetapi Farid ingin cepat sampai karena ia anak pemilik

“Papaku ada di pojok situ, tuh. Wah, sama Pak Rico dan Rishya juga, tuh,” ujar Farid tiba-tiba.

Pak Rico itu siapa, sih?” tanyaku.

Farid menjawab, “Pak Rico itu arsitek hebat dan cukup terkenal di kalangan arsitek. Beliau ngedapetin darah arsiteknya itu dari mendiang ayahnya yang merupakan arsitek terkenal abad lalu. Sebenernya desain awal bangunan ini tuh buatan Pak Rico. Tetapi karena dulu beliau belum terkenal kayak sekarang dan waktu itu beliau nggak punya biaya buat ngebangunnya, desain itu dijual, deh.”

Aku mengajukan perkiraanku, “Dan yang beli desain itu pasti ayahmu. Bener, Rid?

“Ya, emang bener. Kebetulan waktu itu Papa coba-coba liat desainnya dan Papa ngerti tentang arsitektur. Menurut Papa bagus, Papa beli dan langsung dibangun,”katanya.

Aku bertanya lagi, “Kalo Rishya siapa? Anaknya, ya?”

“Yup, bener banget. Dia kayaknya emang nggak mewarisi darah arsitek ayahnya. Biarpun cantik, tapi sih katanya dia nggak mirip keluarganya, tuh. Tapi dia jenius banget. Walaupun baru 17 tahun, lebih muda dari kita, dia udah dapet gelar dalam 2 bidang, lho. Tapi kayaknya juga dia nggak disayang sama ortunya.”

Para tamu pun berdatangan satu demi satu. Tepat pukul 18.00, acara dimulai dengan pidato dari Pak Adrian Wijaya. Biasanya aku tak terlalu bosan mendengarkan pidato. Tetapi isi pidato ini lebih seperti menyombongkan daripada membanggakan.

Kemudian dilanjutkan dengan pidato dari beberapa orang sangat penting. Dimulai walikota, gubernur, dan bahkan beberapa menteri dan wakil presiden memberikan pidato tentang pendapat mereka dari berbagai sisi tentang Spacescraper Building. Lagi-lagi cukup membosankan karena mereka tidak mengatakan tentang kekurangan dari adanya bangunan ini sama sekali.

Setelah cukup lama aku dan Farid tidak berbicara, aku pun memulai pembicaraan, “Rid, kayaknya nama Pak Rico nggak pernah disebut-sebut, ya? Terus Papa kamu ngaku sebagai pembuat desain itu juga, kan?”

“Iya. Kata Papa waktu Papa beli desain itu mereka udah sepakat bahwa desain itu atas nama Papa. Ya, sifat Papa emang gitu,” jelas Farid.

Aku diam saja. Daripada banyak berkomentar nanti malah jadi masalah.

***

Setelah acara makan malam bersama dan hiburan, acara hampir selesai. Farid mengajakku pulang. Mungkin ia malas mendengar pidato penutupan dari gurbenur. Kebetulan Pak Rico dan Rishya juga keluar dari dalam ruangan lebih dulu daripada kami. Kami berempat masuk ke dalam lift bersama dua orang lainnya.

Sepertinya Pak Rico terlihat agak kaget. Namun tak lama kemudian beliau sudah tampak lebih tenang. Seingatku dua orang lainnya yang ikut dengan kami berempat dalam lift ini adalah Pak Rendy dan Bu Astiana. Pak Rendy adalah Direktur dari salah satu kantor cabang perusahaan ayahnya. Bu Astiana adalah sekretaris ayahnya. Aku pernah bertemu dengan mereka di kantor ayahnya dulu.

Pak Rendy waktu itu belum dipindahtugaskan ke kantor cabang itu. Beliau seingatku kurang suka pada Pak Adrian karena Pak Adrian terlalu perfeksionis. Selain itu, seingatku Farid mengatakan bahwa karena beliau dipaksa dipindahtugaskan oleh Pak Adrian beliau harus meninggalkan istrinya yang sedang hamil dan putrinya. Bahkan istrinya sampai keguguran karena terlalu lelah. Beliau termasuk orang yang baik dan ramah.

Bu Astiana orangnya lucu. Beliau juga kurang serius dan agak ceroboh. Karena itu Pak Adrian beberapa kali memarahi beliau. Pak Adrian masih mempertahankan beliau sebagai sekretaris karena beliau pintar, jujur, dan cekatan. Tetapi Farid bilang ada gosip bahwa beliau akan diganti.

“Semua ke lantai 1, ya?” tanya Bu Astiana pada kami semua. Semua yang ada di dalam lift hanya mengangguk saja.

Kami turun satu lantai demi satu lantai. 74, 73, 72, 71, 70, 69, 68, DUAR!!! Terdengar bunyi ledakan yang dibarengi dengan matinya lampu lift dan lift berhenti. Seketika terdengar bunyi ledakan yang lebih kecil dan lift jatuh secepat kilat berlantai-lantai.

Kejadian barusan mengagetkan semua orang di dalam lift. Kami semua masih sangat terkejut. Aku melihat jam tanganku, pukul 19.54. Pak Rendy menenangkan Bu Astiana yang langsung menjadi panik setelah kejadian barusan. Pak Rico dan Rishya terlihat cukup tenang. Begitu pula dengan aku dan Farid.

Aku segera membuka pintu kecil di bagian atas lift ini.

“Pak Rendy dan Bu Astiana, tolong nanti kalian keluar duluan dan carilah pertolongan, “ kataku.

Pak Rendy berkata, “Menurutku lebih baik Farid yang keluar pertama kali karena kenalan polisi Farid lebih banyak daripada kami.”

Aku langsung naik ke atas lift. Ternyata kami berada di antara dua lantai. Dan ternyata tali liftnya tinggal tiga dan sepertinya sudah ada satu yang putus, kurasa karena salah satu ledakan itu. Seingatku memang jumlah tali lift biasanya minimal ada empat buah. Aku langsung turun lagi. Ternyata Farid dan Pak Rendy sedang mencoba membuka pintu lift.

Mereka mulai berhasil dan pintu terbuka semakin lebar. Aku segera menggantikan posisi Farid.

“Rid, cepetan loncat!” suruhku. Karena posisinya yang di antara dua lantai, mau tidak mau

Ia langsung meloncat keluar. Aku dan Pak Rendy yang kelelahan melepaskan pintu lift itu. DUAR! Terdengar satu bunyi ledakan dari atas. Lalu terdengar satu bunyi ledakan lagi dan lift jatuh sekali lagi.

Bu Astiana terlihat bertambah panik saja. Lagi-lagi Pak Rendy menenangkan Bu Astiana. Aku melihat jam tanganku, pukul 19.59. Mungkin saja polanya 5 menit sekali. Ah, lebih baik memikirkan untuk menyelamatkan diri.

Aku dan Pak Rendy menarik pintu lift sekali lagi.

“Ayo, cepat, keluar!”suruhku.

Pak Rico tersenyum dan berkata, “Tentu saja. Kelihatannya tadi itu yang meledak ada dua tali. Jadi yang tersisa mungkin tinggal satu tali lagi. Selain itu, waktu kita kira-kira tinggal 3,5 menit lagi sebelum ledakan terakhir.”

Benar juga. Tadi ada dua ledakan yang berasal dari atas. Lagipula dari jendela lift, memang jarak dari lift ini ke dasar sudah sangat dekat dan perbedaan jauh turunnya lift yang kedua dengan yang pertama memang berbeda. Dan memang sekarang kira-kira pukul 20.01 lewat 30 detik.

Bu Astiana, Pak Rico, dan Rishya keluar dari dalam lift. Sekarang yang tersisa di dalam lift tinggal aku dan Pak Rendy.

“Fidel, kamu dulu!” kata Pak Rendy.

“Tapi…”

“Cepat!!!”teriaknya.

Rishya yang dari tadi diam ikut bicara, “Del, lebih baik satu daripada nggak sama sekali.”

Aku melepaskan tanganku perlahan-lahan. Mudah-mudahan Pak Rendy bisa menahannya. Aku berjalan keluar. Tiba-tiba Pak Rendy tersenyum padaku.

“Dalam penyelamatan kali ini, harus ada pengorbanan,” ucapnya.

Kemudian Pak Rendy melepaskan tangannya dan sekitar 10 detik kemudian tali lift yang keempat meledak dan lift itu jatuh ke bawah bersama Pak Rendy. Aku tidak akan memaafkan pelakunya. Ia harus mendapatkan ganjaran yang setimpal.

Del!”panggil Farid. Ia berlari ke arahku.

“Polisi nggak bisa dateng, soalnya jembatannya barusan meledak. Helikopter juga nggak bisa dateng, soalnya landasan helikopter ada di lantai paling atas. Lantai paling atas meledak. Kecuali kita berenam, semua udah mati,” jelas Farid sambil terengah-engah karena berlari.

“Pak Rendy udah mati. Tali lift terakhir udah meledak,” kataku.

Dia agak sedih juga. “Peluang hidup Pak Rendy masih ada, kok. Ada shock absorber di dasar. Urusan lift Papa yang ngurus sendiri. Lagipula ini cuma di lantai tiga, kok. Tapi, ngomong-ngomong kamu bisa tau dari mana kalo caranya tuh pake ngeledakin tali lift?”

Aku merasa dia mulai aneh lagi. “Ya, iyalah. Kan cuma aku yang liat talinya tadi. Kamu yang nggak liat ya nggak tau, dong…. Oh, iya! Sekarang aku udah tau siapa pelakunya!”

Lalu aku membisikkannya rencanaku. Aku pun segera masuk ke dalam sebuah restoran di lantai ini dan mempersiapkan hal-hal yang diperlukan. Tak lama kemudian, Rishya datang. Aku juga membisikannya rencanaku. Awalnya ia agak kaget dan bingung, tetapi akhirnya ia setuju juga. Dan tanpa perlu repot-repot, Pak Rico juga datang. Rishya langsung kembali ke sebelah ayahnya.

***

“Begini, Pak Rico. Saya tidak punya banyak waktu untuk basa basi. Yang merencanakan semua ini adalah Anda. Anda menggunakan bom waktu untuk ledakan di jembatan dan di ballroom. Namun untuk di lift, sebenarnya itu harus Anda aktifkan dulu, baru waktunya berjalan. Bukan begitu, Pak?” jelasku.

Pak Rico tersenyum. “Teruskan saja ceritamu.”

Aku pun melanjutkan, “Tadinya Anda berencana meledakkan tali lift setelah Anda dan putri Anda keluar dari Spacescraper Building ini. Tetapi karena ada aku, Farid, Pak Rendy, dan Bu Astiana Anda mengubah rencana Anda menjadi seperti ini.”

“Lucu. Kalau awalnya aku ingin meledakkannya setelah aku turun dari lift. Mengapa aku harus menggunakan bom waktu untuk itu? Jangan menuduh orang sembarangan,” katanya mencoba membela diri.

“Orang sepintar Anda pastilah sudah memperhitungkan bahwa lift bisa dinaiki oleh siapa saja. Walaupun Anda sudah mencoba berusaha mencegah kemungkinan itu dengan keluar dari dalam ruangan lebih cepat, namun sayangnya orang sepintar Anda gagal karena ternyata tetap ada orang lain dalam lift,” jelasku lagi.

Kemudian Pak Rico bertanya, “Dari mana kau bisa berpikir begitu?”

“Anda sempat mengatakan tentang jumlah tali lift. Padahal lift bukan berdasarkan desain Anda, tetapi dari Pak Adrian sendiri. Juga tentang pola 5 menit itu. Padahal Anda tidak menggunakan jam tangan dan tidak mengeluarkan handphone Anda dari dalam saku. Sayang sekali trik orang sejenius Anda bisa terpecahkan oleh hanya dimulai hal itu.

Beliau berkata lagi, “Terima kasih atas pujiannya. Tetapi untuk apa aku menghancurkan gedung ini? Aku yang mendesain gedung ini. Apa motifnya?”

Sekarang aku yang tersenyum, “Justru itulah motifnya, Pak. Dulu Anda menjual desain Spacescraper Building ini kepada Pak Adrian Wijaya. Ia mengundang Anda dan anak Anda, tetapi dalam pidatonya tidak sedikitpun ia singgung tentang Anda. Justru ia mengaku bahwa desain itu adalah ciptaannya. Kalau saya menjadi Anda, Pak, mungkin saya juga akan merasa sakit hati. Dan bila itu membuat Anda melakukan semua ini, itu bukan hal yang mustahil, kan?”

Pak Rico tertawa, “Baiklah, Tuan Detektif. Aku kalah. Memang akulah pelakunya. Tapi kau tidak punya bukti, kan?”

“Giliranku bertanya dulu. Seberapa besar kemungkinan Pak Rendy selamat?” tanyaku pada sang pelaku.

Ia sudah mulai agak serius, “1%. Mungkin kau pikir karena ada shock absorber dia bisa selamat, begitu? Justru bomnya kuletakkan di shock absorber­-nya.”

“Licik sekali,” kataku.

Ia tersenyum lagi. “Terima kasih lagi atas pujiannya. Pertanyaanku tentang bukti belum kau jawab, kan?”

Aku melirik Rishya. Ia sudah mengerti. Ia menjauh dari ayahnya itu dan memperlihatkan rekaman yang dari tadi merekam pembicaraan itu.

Ia tampak kesal. “Kau licik, curang!” katanya.

“Belum bisa mengalahkan kelicikanmu, Pak.”

Tiba-tiba ia tertawa. Lebih keras daripada sebelumnya. “Penjahat hebat selalu punya bonus, yang dapat menghancurkan gedung ini dari atas sampai bawah.”

Ia membuka jas dan kemejanya. Di tubuhnya ia memasang bom. Ia menekan sebuah tombol. Waktu berjalan, tinggal 3 menit. Aku rasa inilah bom paling besar di gedung ini.

Aku tersenyum simpul, “Detektif ini juga punya bonus. Ayo, Rishya!”

Rishya langsung mencabut bom itu dari tubuh ayahnya dengan cutter dan meninggalkan bom itu di lantai. Aku dan Rishya mengikat Pak Rico dengan tali. Aku membawa tubuhnya dan meloncat keluar jendela bersama Rishya. Di bawah jendela sudah ada bertumpuk-tumpuk matras yang disiapkan Farid. Kami segera berlari ke perahu karet yang juga disiapkan Farid dan kami semua mendayung cepat-cepat. Fiuh, untung di dalam gedung ini juga ada toko peralatan olahraga.

Kami menoleh ke arah Spacescraper Building. Bom terakhir menghancurkan Spacescraper Building berkeping-keping. Sayang memang, tapi begitulah adanya.

Di dalam perahu karet aku melihat Pak Rendy.

“Pak Rendy, mengapa Bapak bisa selamat? Kan di shock absorber-nya ada bom?” tanyaku heran.

Pak Rendy menjawab, “Oh, diselamatkan Tuhan. Aku sudah curiga mungkin saat aku sampai di bawah ada bom yang dipasang di suatu tempat. Karena tekanan udara di bawah lift semakin besar dan begitu pula gaya gesek pada talinya, beberapa detik sebelum menabrak shock absorber lift itu berhenti. Aku keluar dan saat aku ingin mencari kalian aku bertemu Farid dan Bu Astiana lalu ikut membantu mempersiapkan semua ini.”

Aku menoleh ke arah Farid yang sedang mendayung.

“Rid, Papa kamu…”

“Tadi aku nelepon polisi pake handphone lagi. Katanya Papa selamat. Nggak tau kapan Papa turun pake tangga ke kamarnya di lantai 73 soalnya Papa emang lebih suka pake tangga kalo nggak terlalu jauh. Setelah bom pertama meledak Papa kabur. Kebetulan waktu Papa kabur jembatan belum meledak jadi Papa bisa kabur pake mobil,” jelas Farid.

Aku turut lega mendengarnya. Tetapi puluhan undangan lainnya meninggal karena ledakan di ballroom itu. Besok bangunan ini benar-benar akan masuk halaman depan semua surat kabar di negara ini.

***

Kami semua sudah sampai ke dermaga yang memang sangat dekat dengan pulau tempat Spacescraper Building berdiri tadi. Polisi sudah menunggu dan mereka langsung membawa Pak Rico ke kantor polisi. Dermaga sudah mulai agak sepi. Farid dan ayahnya sudah pulang duluan. Pak Rendy dan Bu Astiana juga sudah pulang.

Rishya bertanya kepadaku, “Kamu nggak heran kenapa aku mau bekerja sama dengan kamu buat ngejebak ayahku?”

“Nggak juga. Karena kamu bukan anak kandungnya, kan?” tanyaku memastikan.

Ia tertawa geli, “Itu sih alasan nomor dua. Soalnya kalo kandung kan punya ikatan batin yang lebih erat. Jadi bukan nggak mungkin aku nggak sanggup ngelakuinnya kalo aku anak kandungnya. Tapi hebat juga kamu bisa tahu.”

“Cuma nebak doang, kok. Nomor satunya?”

Ia berkata, “Karena aku juga ingin Ayah bisa kembali ke jalan yang benar. Ayah udah terlalu terobsesi dengan pekerjaannya. Mudah-mudahan Ayah bisa lebih baik.”

“Kudoain, deh,” ujarku.

Ia bertanya lagi, “Del, kira-kira kita bisa ketemu lagi, nggak?”

“Pasti,” kataku sambil menoleh ke arahnya, “Kalau Tuhan mengizinkan.”

Kami semua pulang ke rumah masing-masing sesudah hari yang melelahkan ini. Aku tidak pernah ingin mengalami kejadian seperti ini lagi. Tetapi kalau takdirnya memang begitu, aku tidak keberatan, kok.

No comments:

Post a Comment