Tuesday, December 2, 2008

The Liar

Author's note: It was one of my first (or maybe it's my first) work(s) after I liked teenlit. I wouldn't say it's good but I liked it because I started with absolutely nothing in mind and just write whatever came to my mind at the moment. The whole thing turned out to be... okay. I've asked other people's comments in PulPen once.

Sebenarnya ini hari yang cerah, sesuai dengan ramalan cuaca. Tetapi apa yang akan terjadi dalam hidup kita hari ini tidak bisa diprediksi setepat ramalan cuaca. Bisa saja sangat melenceng jauh dari harapan. Namun, bila kita mencoba memperbaiki keadaan, kita akan menemukan jalannya. Sayangnya memperbaiki tidak selalu membuat keadaan menjadi lebih baik. Tergantung dari caramu mencoba memperbaikinya.


“Jes, kamu dan Kakakmu jaga rumah, ya. Mama mau pergi ke kantor sebentar.”

“Oke, Ma,” jawab Jessica.

“Mel, Ingat pesan Mama. Awas kalau Mama dengar lagi tentang laki-laki itu.”

“Baik, Ma. Aku ingat,” jawab Melanie dengan agak kesal.

Ia melangkah masuk ke dalam kamarnya dengan gontai dan menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur. Setiap kali orang tuanya mengatakan akan pergi “sebentar”, itu berarti kira-kira 2 jam. Dan itu artinya selama itu pula ia akan berada di rumah berdua dengan Melanie, seorang kakak yang baginya sangat menyebalkan.

Memang ibu mereka seorang single parent, tetapi menurut Jessica, itu bukan alasan anaknya boleh bersikap seperti itu. Ya, maksudnya memperlakukan dia seperti pembantu. Karena ibu mereka memilih tidak menggunakan pembantu.

“Jes, ambilin minum! Buruan!” terdengar teriakan dari dalam kamar Melanie yang berada tepat di sebelah kamarnya.

Jessica berjalan ke dapur dan menuangkan minuman ke dalam gelas Melanie. Jessica tahu, tak ada gunanya ia melawan. Kalau ia melawan, pasti nanti Kakaknya akan mengadukannya yang tidak-tidak kepada orang tuanya nanti, seperti biasanya. Lalu Jessica berjalan ke depan kamar Kakaknya itu dan mengetuk pintu.

“Masuk! Nggak dikunci!”

Jessica masuk ke dalam kamar dan meletakkan minuman itu di atas meja. Melanie sedang membaca novel di tempat tidurnya.

“Lama amat! Dasar kura-kura! Kamu mau bikin aku dehidrasi, ya?! Udah, cepetan keluar!”

Jessica pun keluar dari dalam kamar itu. Ia merasa sangat kesal.

Aku justru senang kalau kamu dehidrasi. Rasanya makin lama makin galak, bukannya makin baik. Jangan-jangan ribut dengan pacarnya, batin Jessica.


***

“Halo, selamat siang. Bisa bicara dengan Elisha?”

“Ya ampun. Gary, Gary. Pake nanya lagi. Kamu udah nelepon ke handphone-ku, tau sendiri aku di rumah sekarang cuma tinggal sendirian. Tanteku kan jam segini kerja.”

“Ya... kalo aja kamu ngisengin aku. Kalo aja taunya ini nomor telepon tukang pijet refleksi. Kamu pake ganti nomor handphone­ segala, sih. Eh, nanti sore kita jadi kan ke taman? Jangan lupa! Jam enam, ya!”

“Oke, deh. Udah dulu, ya. Mau makan siang dulu, nih.”

Elisha menutup telepon dari pacarnya, Gary. Mereka sudah berpacaran selama dua tahun lima bulan. Mereka berpacaran sejak SMA sampai sekarang, universitas. Memang sejak mereka kuliah hubungan mereka agak merenggang karena mereka masuk ke universitas yang berbeda. Namun mereka selalu menyempatkan untuk berjalan-jalan berdua kalau tidak sedang sibuk.

Elisha membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Ia melihat ke arah jam dinding, dua jam lagi ia akan berjalan-jalan ke taman dengan Gary. Ini sangat berarti untuk Elisha. Sudah tiga bulan lebih ia tidak bertemu dengan Gary. Ia benar-benar merindukan pacarnya itu.

Ia membayangkan bagaimana rupa Gary sekarang. Mungkin ganti gaya rambut? Atau mungkin sekarang lebih ganteng? Elisha terhanyut dalam bayang-bayang Gary. Tanpa sadar ia tertidur.


***

Bel rumah berbunyi. Jessica segera berlari untuk membuka pintu dengan senangnya. Ia berharap itu adalah ibunya yang sudah pulang. Sebenarnya ini baru satu jam. Tetapi mungkin aja kali ini ibunya pergi memang benar-benar “sebentar”. Ia sudah bosan berdua dengan Melanie.

Sebenarnya Jessica sangat bangga dengan Ibunya. Ibunya mampu bekerja untuk menghidupinya dan Kakaknya, tapi juga tetap dapat menjalankan perannya sebagai seorang ibu. Ia tidak ingin hidup hanya dari warisan yang ditinggalkan mendiang ayah. Maka ia meneruskan perusahaan ayah mereka.

Jessica membuka pintu. Tidak ada orang. Tetapi ada yang meninggalkan sebuah kado di depan pintu. Jessica mengambilnya. Ia menutup pintu dan membawa kado dengan kertas kado berwarna pink itu sambil berjalan. Untuk siapa ini? Batinnya. Ia menemukan ada sebuah kartu ucapan kecil di salah satu sisi kado itu. Buat Melanie tercinta, Dari...

“Jes! Apa-apaan kamu?!”

Jessica tersentak kaget. Tanpa sengaja ia menyenggol meja di sebelahnya. Vas bunga keramik kesayangan ibunya hancur berantakan. Melanie yang berada di depan kamarnya menghampiri Jessica lalu mengambil kado itu dari tangan Jessica.

“Kita tunggu aja reaksi Mama tentang ini! Makanya, jangan suka usil sama barang orang lain!” ujar Melanie ketus. Ia pun berjalan ke kamarnya membawa kado itu.

Beberapa saat kemudian handphone yang berada di dekat Jessica berdering.

“Halo, Ma.... Ada apa?”

“Jes, hari ini Mama sekalian mau belanja dulu, jadi pulangnya agak telat. Nggak ada apa-apa, kan? Ada yang cari Mama?”

“Nggak, Ma. Nggak ada apa-apa. Nggak ada masalah. Mama tenang aja.”

“Baguslah. Sudah dulu, ya.”

Jessica masih berdiri terpaku di situ, menatap pecahan vas itu seolah-olah tatapannya dapat membuat vas bunga itu utuh kembali. Ia berbisik kepada dirinya sendiri.

“Kali ini habislah aku.”


***

Tiba-tiba handphone Elisha berbunyi. Ia melihat ke arah jam dinding. Masih satu jam lima belas menit lagi. Ia meraih handphone-nya. Andrew, teman kuliahnya, menelepon.

“Sha, ke rumah Vivian sekarang. Cepetan, darurat!”

Andrew langsung memutuskan pembicaraan tanpa Elisha sempat mengucapkan sepatah kata pun. Elisha segera menuju ke rumah Vivian dengan mobilnya. Sialnya, sekarang jalan benar-benar macet karena banyak orang sedang pulang dari kantor. Kemungkinan ia akan terlambat untuk acara jalan-jalannya dengan Gary. Tapi kalau ini memang sangat darurat, ia yakin Gary pasti mau mengerti.

Empat puluh lima menit kemudian, Elisha sampai ke rumah Vivian. Ia berlari menuju pintu rumah Vivian. Ia mengetuk pintu, ternyata pintunya tidak dikunci. Jangan-jangan ada perampok. Mudah-mudahan Vivian dan Andrew tidak apa-apa. Ia segera membuka pintunya.

Surprise! Happy Birthday Elisha!”

Tiba-tiba teman-teman kuliahnya sudah berkumpul di sini. Elisha sangat kaget bercampur gembira. Ruang tamu Vivian disulap menjadi ruangan pesta lengkap denga balon dan pita. Mereka pun segera menyanyikan lagu “Happy Birthday To You” untuk Elisha. Tiba-tiba Vivian datang dari dalam dapur membawa kue ulang tahun untuk Elisha, lengkap dengan lilinnya.

“Sha, sini dulu,” Vivian menarik Elisha ke kamarnya. Vivian menunjukkan sebuah gaun yang simpel, tapi sangat indah.

“Aku nggak bisa, Vi.”

Elisha dan Vivian keluar dari dalam kamar. Teman-teman yang lain terpesona melihat penampilan Elisha. Ya, mau tidak mau Elisha harus memakainya juga. Teman-temannya pun menariknya dan menyuruhnya meniup lilin dan memotong kue. Elisha memberikan potongan kue itu kepada Vivian, sahabatnya sejak SMP selain Andrew.

Elisha benar-benar lupa kalau ini hari ulang tahunnya. Jadi gara-gara itu Gary ingin mengajaknya ke taman. Ya ampun! Gary! Batinnya. Ia melihat jam tangannya, jam lima lebih sepuluh menit. Tidak akan sempat lagi.

“Sha, ini ada kado buat kamu. Happy birthday,”ujar Andrew.

Elisha mengambil kado itu, “Makasih.”

Andrew pun kembali ke kerumunan teman-temannya.

“Vi, aku ada janji sama Gary. Udah telat, nih!” ujar Elisha.

“Hmmm, ajak ke sini aja.”

Elisha melirik ke arah Andrew. Lalu menatap Vivian.

“Oh, iya. Kalo gitu pergi aja. Nggak apa-apa, Sha. Mereka biar aku yang urus. Nggak usah ganti baju, itu hadiah. Kado-kadonya nanti kamu ambil aja di sini.”

“Makasih banyak, Vi.”

***

Bel berbunyi, lagi. Kali ini benar-benar ibu yang pulang.

“Jessica, Melanie, siapa yang melakukan ini?! Apa-apaan ini, hah?!”tanya Sang Ibu dengan marah.

Jessica benar-benar takut. Ia benar-benar merinding. Ia merasa ingin menangis.

Jessica berkata terbata-bata, “Ma..., se...sebenernya yang mecahin vas itu...”

“Aku, Ma.”

Jessica benar-benar kaget dengan yang dikatakan Melanie barusan. Ia hampir tidak dapat mempercayai telinganya.

“Aku yang mecahin vas itu, Ma. Aku bener-bener nggak sengaja,” jelas Melanie lagi.

Sang Ibu terlihat sedikit lebih tenang, tetapi tetap tampak marah.

“Kamu tau kan vas itu harganya mahal?”

Melanie mengangguk pelan.

“Jadi, sekarang cepat kamu bersihin pecahan vas ini dan uang jajanmu selama setahun akan Mama potong untuk mengganti vas ini. Selain itu kamu harus membersihkan WC selama bulan ini. Mengerti?”

Melanie mengangguk lagi. Ia segera ke belakang untuk mengambil sapu untuk membersihkan pecahan-pecahan vas. Ibunya ke dapur untuk memasak makan malam. Jessica masih berdiri terpaku di situ. Lidahnya terasa beku, kaku.

Sesaat kemudian Melanie datang kembali dan mulai membersihkan pecahan vas itu. Jessica berniat membantu Kakaknya itu. Tetapi Melanie memberikan isyarat agar Adiknya itu masuk ke dalam kamar saja. Jessica menurut saja. Ia tidak tahu lagi harus berbuat apa.

Jessica merasa sangat bingung. Seharusnya ia merasa senang ia tidak dimarahi dan Kakaknya yang menyebalkan itulah yang mendapat hukuman. Namun entah mengapa ia justru merasa kasihan dengan Melanie. Ia juga tidak mengerti mengapa Melanie harus berbohong untuk membelanya. Padahal kalau mau ia bisa menyalahkan Jessica habis-habisan seperti biasanya.

Pokoknya, apapun tujuan kebohongan itu, itu benar-benar menyelamatkan Jessica.


***

Elisha berlari ke arah Gary yang sedang duduk di bangku taman. Ia sudah terlambat empat puluh lima menit. Tadi ada saluran telepon yang sedang diperbaiki sehingga jalan menjadi macet. Taman ini juga letaknya cukup jauh dari rumah Vivian. Ia menjadi merasa bersalah. Ia bersenang-senang dengan teman-temannya sementara Gary dari tadi menunggu sendirian di sini.

“Gar, maafin aku, ya. Tadi temen-temenku bikin pesta kejutan. Aku nggak enak ninggalin mereka.”

“Andrew ngasih kado?”

“Eeee, nggak. Nggak ada Andrew. Cewek-cewek doang yang ikutan.”

Elisha merasa kali ini ia “terpaksa” berbohong. Ia tidak ingin menyakiti perasaan Gary sekaligus: dengan datang terlambat dan ternyata karena bersenang-senang dengan teman-temannya dan ada Andrew. Ia tidak mungkin mengatakannya. Dulu Gary pernah cemburu berat dengan Andrew. Elisha pun kemudian duduk di sebelah Gary.

“Nggak apa-apa. Telat itu biasa, kok. Aku juga sebenernya telat sepuluh menit tadi. By the way, selamat ulang tahun, ya. Buat nemuin aku kamu nggak sempet ganti baju, ya?”

Elisha merasa lebih tenang sekarang.

“Sha, aku udah beli makanan buat kita. Ulang tahunmu kali ini kita dinner di taman ini sambil ngeliatin kunang-kunang, kayak ulang tahunmu dua tahun yang lalu. Mau, kan?”

Taman ini memang letaknya agak di pinggiran kota sehingga terangnya kunang-kunang dapat terlihat dengan jelas. Begitu pula gemerlapan bintang.

Elisha mengangguk. Lalu ia menyandarkan kepalanya di bahu Gary. Ia benar-benar rindu. Mereka mengambil minuman yang dibeli Gary dan minum.

“Sebenernya aku juga mau ngomong sesuatu, Sha.”

“Sha, sebenernya ini nggak pantes aku ngomongin sekarang, di hari ulang tahun kamu. Tapi...”

Elisha menyela, “Ngomongin aja, Gar. Aku siap....”

Handphone Gary berdering. Gary berdiri dan melihat dari siapa telepon itu.

“Sebentar, Sha.”

Gary berjalan beberapa langkah dari kursi taman itu dan mengangkat handphone-nya. Sepertinya itu bukan pembicaraan yang menyenangkan.


***

Malam harinya, kira-kira satu jam sebelum makan malam, Jessica masuk ke kamar Melanie. Melanie sedang membaca buku pelajarannya.

“Kak, maafin aku. Karena aku, Kakak jadi susah.”

“Bagus kalo sadar! Lain kali kalo masuk ketok pintu dulu.”

Jessica meletakkan sejumlah uang di atas meja kakaknya.

“Ini uang tabunganku. Mungkin bisa buat bantu Kakak kalo kekurangan uang. Kan uang jajan Kakak dipotong,” ujar Jessica.

Melanie meletakkan bukunya. Ia tampak kesal pada Jessica.

“Kamu pikir aku nggak punya tabungan, ya?! Ambil uang kamu! Aku nggak perlu! Kayak duit kamu banyak aja!” kata Melanie ketus.

Melanie melanjutkan, “Kamu pikir aku bohong tadi itu karena mau nolong kamu, ya? Aku tuh cuma takut kalo kamu cerita sama Mama dan Papa soal kado itu. Pergi, sana! Ganggu aja!”

Jessica menangis, tetapi tangisan ini setengah sedih setengah bahagia. Sedih karena niat baiknya ditolak mentah-mentah, tetapi bahagia karena ia yakin akan kebaikn kakaknya.

“Sekali lagi aku minta maaf, Kak. Makasih banyak.”

Jessica mengambil lagi uang tabungannya dan keluar dari dalam kamar Melanie.

Sebenarnya, ia tahu dalam hati saudarinya itu, masih ada kebaikan yang membuatnya mau melakukan itu, bukan karena terpaksa atau takut. Ia yakin Melanie sebenarnya menyayanginya sebagai kakak-adik. Cuma mungkin ia gengsi mengakuinya dan menunjukkannya.

Baru saja Jessica akan beranjak dari depan pintu kamar Melanie, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari kamar Melanie.

“Kado kamu yang mengerikan ini mau aku balikin atau aku buang, hah?! Kita pacaran lima bulan dan kamu nggak tau aku benci boneka...?! Apa maksud kamu terserah mau diapain? Aku anggap itu artinya dibuang. Kita putus!”

Ternyata Melanie memang ribut dengan pacarnya. Ya, tetapi ini bukan yang pertama kali. Malah biasanya setelah putus, Melanie bersikap sedikit lebih baik pada orang lain, paling tidak sampai dia mendapat pacar baru. Kakaknya itu memang orang yang aneh, tapi sebenarnya baik. Jessica merasa malam ini begitu indah. Mereka pun bersiap-siap untuk makan malam dengan bahagia.


***

Setelah pembicaraannya selesai. Gary kembali duduk di sebelah Elisha. Ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya.

“Sha, sebenernya selama ini aku selingkuh.”

Elisha terdiam. Ia benar-benar kaget. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Ia tidak percaya.

“Kamu kan tau sendiri kalo orang tuaku kurang setuju sama hubungan kita. Akhirnya orang tuaku ngejodohin aku sama Melanie, temen kuliahku. Sebenernya aku nggak suka sama Melanie. Orangnya galak, ketus, egois, tapi orang tuaku masih maksa aku. Mau nggak mau aku pacaran sama dia. Orang tuaku juga sering maksa aku ngajak dia jalan-jalan, atau nemenin dia ke salon, aku nggak sanggup ngelawan, Sha,” jelas Gary kepada Elisha.

Gary melanjutkan lagi, “Jadi akhirnya aku mutusin sekarang ini juga aku mau mengakui semua ini sama kamu. Selama ini kita jarang ketemu, aku bilang aku ada tugas, urusan keluarga, ultah temen, semuanya bohong, Sha. Aku bohong. Sebenernya waktu-waktu itu aku sama Melanie.”

Elisha menitikkan air mata. Ia benar-benar tidak menyangka ini yang sebenarnya terjadi selama ini.

“Barusan tadi dia mutusin aku karena hal sepele. Aku nggak mau nyia-nyiain kamu lagi. Aku sadar sampai kapanpun nggak ada yang bisa gantiin kamu, Sha.”

Gary juga ikut menitikkan air mata. Ia sangat menyesal melakukan semua ini.

“Gar, sebenernya tadi ada Andrew. Dia malah ngasih aku kado. Aku ninggalin temen-temenku yang udah susah-susah nyiapin pesta buat aku... cuma buat kamu! Aku nggak ngerti! Kalo emang kamu ada masalah, kamu bisa cerita! Kalo kamu nggak cerita sama aku, artinya kamu nggak percaya lagi sama aku!” jelas Elisha dalam deraian air mata.

Gary mendekap Elisha agar Elisha merasa lebih tenang. Ia tahu, Elisha sangat tidak suka dikhianati. Ia pernah punya pengalaman yang sangat buruk tentang dikhianati waktu SMA dulu.

“Elisha, setelah malam ini kamu boleh mutusin aku. Aku nggak mau mencoba membela diri lagi. Waktu itu aku bener-bener pengecut. Harusnya aku ngelawan keputusan orang tuaku. Kamu boleh nggak ngomong sama aku lagi selamanya. Tapi tolong malam ini kita bisa berdua untuk terakhir kalinya.”

“Tolong, Gar. Tinggalin aku dulu. Sekarang aku pengin sendiri. Pergi, Gar!”

“Tapi Sha, aku.... Baiklah..., apa boleh buat.”

“Kamu makan, ya, Sha, nanti maag-mu kambuh. Pulangnya jangan malam-malam, nanti masuk angin,” lanjut Gary sembari menyodorkan sebuah cheeseburger pada Elisha.

Elisha mengambil cheeseburger itu. Gary berjalan pergi, meninggalkan Elisha sendiri sesuai permintaannya. Gary benar-benar berharap Elisha dapat menerimanya kembali. Awalnya ia merasa sedikit menyesal sudah jujur tentang semua ini. Namun sekarang ia yakin apa yang ia lakukan sudah benar.


***

Jessica dan keluarganya baru saja menyelesaikan makan malam bertiga. Makan malam mereka kali ini lebih enak dari biasanya. Ya, “koki”-nya kelihatannya sedang senang hari ini.

“Jes, Mel, perusahaan Mama mengalami kemajuan pesat sejak perubahan yang Mama lakukan bulan lalu.”

“Baguslah, Ma,”kata Melanie dengan agak kesal.

“Melanie, kamu kok begitu. Soal pacarmu itu? Sejak pertama kalo melihatnya Mama tau kalau dia tidak cinta sama kamu, Mel. Mama mau kamu bahagia.”

“Sudahlah, Ma. Kami sudah putus.”

Keadaan ruang makan hening sejenak.

Jessica memulai pembicaraan lagi, “Ma, sebenernya...., vas itu...”

“Mama sudah tau. Kalian kan anak Mama. Apalagi Papa kalian meninggal sebelum Jessica lahir. Mama tau betul kalian, apalagi kamu Jessica. Cuma Mama mau tau kejujuran kamu. Jadi semua hukuman Melanie pindah ke kamu, ya....”

Jessica merasa lebih tenang sekarang. Walaupun ia mendapat hukuman, ia merasa tidak ada lagi yang disembunyikan. Sekarang ia merasa benar-benar bahagia di tengah keluarganya. Vas itu pecah memang bukan sepenuhnya kesalahannya, tetapi paling tidak Melanie sudah membersihkan pecahannya.


***

Elisha masih sendirian di taman. Menatap kunang-kunang yang beterbangan berkelap-kelip. Ia mengambil kado yang diberikan Andrew dari dalam mobil, lalu duduk lagi di kursi taman. Ia belum berniat pulang. Elisha membuka kado itu. Isinya sebuah kotak tisu lucu lengkap bersama tisunya. Ada sebuah kartu ditempel di kotak tisu itu:


Yang terpenting adalah yang ada di dalam, bukan luarnya. Semoga bisa bermanfaat.

Happy Birthday, My Best Friend

Andrew

Suatu kebetulan yang sangat kebetulan. Seolah-olah Andrew tahu apa yang akan terjadi pada dirinya dan Gary hari ini. Tanpa sengaja hadiah itu jatuh dan menggelinding ke bawah kursi. Elisha mengambilnya, ternyata di bawah situ ada sebuah kado. Pasti dari Gary, batin Elisha.

Elisha membukanya. Isinya sekotak cokelat. Ada sebuah kartu juga.


Aku tidak harus menunggu 14 Februari untuk memberimu cokelat, kan?

Gary

Elisha tersenyum membacanya. Ia menangis, lagi. Tisu dari Andrew memang berguna sekarang. Elisha merasa sangat sedih, dan juga bingung. Mengapa orang yang ia cintai dan mencintainya harus menyakitinya? Elisha benar-benar bimbang. Ia bahkan ragu apakah yang tadi dikatakan Gary jujur dari dalam hatinya sendiri. Elisha merasa mungkin ia harus menceritakannya pada Vivian dulu.


Terungkapnya kebenaran tak mengurangi indahnya taman itu di malam hari. Kunang-kunang tetap beterbangan dengan terang . Memberikan cahaya-cahaya harapan bagi Gary, Elisha, dan siapapun juga untuk memulai sesuatu yang baru. Menutup kebohongan yang tidak memperbaiki keadaan sama sekali, dan kemudian menerima kebenaran dan kenyataan hidup apa adanya

2 comments:

  1. Lumayan..
    Tapi agak biasa ya. Atau mungkin karena ceritanya yg romantis2 gitu, gw ga suka hahaha..

    Yaa lanjut aja.

    ReplyDelete
  2. Ya yang ini emang ceritanya agak biasa gitu. Waktu nulis ini juga baru nyoba-nyoba. Tapi kayaknya gue emang kurang bagus nulis ginian. Jadinya ga pernah lagi tuh nulis ginian. Hehe.

    ReplyDelete